BRAVO13.ID, Samarinda - Lampu sorot telah meredup di panggung kualifikasi yang begitu memompa asa. Di balik gemuruh sejarah yang baru saja terukir—Indonesia untuk kali pertama menjejakkan kaki di putaran keempat kualifikasi Piala Dunia zona Asia—tersimpan satu keputusan pahit yang harus ditelan. PSSI, melalui komando Ketua Umumnya, Erick Thohir, secara resmi menyudahi ikatan kerja sama dengan arsitek utamanya, Patrick Kluivert, beserta seluruh staf kepelatihan yang dibawanya.
Ini adalah akhir kisah yang tergesa, sebuah senja yang datang lebih cepat dari yang diperkirakan.
Mantan legenda Belanda yang menorehkan tinta emas dalam kariernya itu hanya bertahan sekitar sembilan bulan, atau kurang dari 12 bulan yang disebut-sebut Erick Thohir, memimpin Skuad Garuda. Padahal, di atas kertas, kontraknya membentang dua tahun. Kegagalan menembus pintu gerbang Piala Dunia 2026, meski telah mencapai titik tertinggi dalam sejarah kualifikasi, menjadi penanda untuk sebuah perpisahan yang elegan.
Perpisahan yang Sunyi dan Penuh Hormat
Di tengah spekulasi yang beredar, Erick Thohir muncul dengan pernyataan yang menenangkan, merangkum perpisahan ini dalam narasi yang jauh dari drama. Ia mengungkapkan bahwa pemutusan kontrak itu dijalankan melalui mekanisme mutual termination—sebuah kesepakatan bersama, yang menggarisbawahi profesionalisme dan rasa saling hormat.
“Terima kasih atas kontribusi yang sudah diberikan Coach Patrick Kluivert dan tim kepelatihan selama hampir 12 bulan untuk PSSI dan Timnas Indonesia,” ujar Erick, suaranya mengandung nada penghargaan yang tulus.
Keputusan ini, tegasnya, bukanlah hasil dari pertarungan kehendak, melainkan buah dari diskusi yang terbuka dan penuh rasa hormat antar kedua belah pihak. Sikap ini seolah menjadi pesan bahwa meski ambisi besar belum tercapai, kontribusi yang telah diberikan tetap diabadikan.
Apresiasi di Tengah Jejak Sejarah
Meski tak sempat menuntaskan misinya, jejak Patrick Kluivert dan timnya diyakini Erick Thohir telah menorehkan warna tersendiri. Dedikasi tim pelatih asal Belanda itu, yang juga mencakup Gerald Vanenburg di Timnas U-23 dan Frank van Kempen di Timnas U-20, diapresiasi sebagai bagian penting dari evolusi sepak bola nasional.
“Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan Timnas Indonesia dan berjuang bersama untuk Merah Putih,” katanya, menggarisbawahi bahwa perjuangan kolektif ini adalah yang terpenting.
Namun, penghargaan tertinggi Erick tak hanya terhenti pada nama Kluivert. Ia memandang pencapaian lolos ke babak keempat kualifikasi Piala Dunia sebagai tonggak sejarah yang layak dirayakan oleh seluruh elemen.
“Terima kasih juga untuk seluruh suporter, pemain beserta keluarga, dan ofisial yang sudah berjuang dan memberikan dukungan untuk Timnas Indonesia hingga bisa melaju ke ronde empat. Itu merupakan sejarah penting bagi sepak bola Indonesia,” imbuhnya, memberikan tribute kepada barisan terdepan dan pendukung setia Merah Putih.
Dengan pamitnya Patrick Kluivert dan staf, termasuk Vanenburg dan Van Kempen, fokus PSSI kini beralih. Sebuah babak baru menanti, dan federasi kini dihadapkan pada tugas krusial: mencari sosok nakhoda baru yang akan memimpin Garuda terbang lebih tinggi, mengejar mimpi Piala Dunia yang baru saja tertunda. Kisah Kluivert telah usai, namun ambisi Indonesia tak pernah mati. (*)