Bravo 13
Kisah Pepper, Kucing Pemburu Virus yang Mengubah Arah Riset IlmiahDi balik semak Florida, seekor kucing hitam bernama Pepper kembali mengejutkan sains, menemukan virus baru yang bisa mengancam manusia.
Oleh Puji Tri2025-07-19 14:18:00
Kisah Pepper, Kucing Pemburu Virus yang Mengubah Arah Riset Ilmiah
Kucing Penemu Virus Baru di Florida, Ini Dampaknya Bagi Manusia.

BRAVO13.ID, Samarinda - Di tengah gemuruh riset ilmiah yang acapkali berpusat pada laboratorium berteknologi tinggi, sebuah kisah tak terduga muncul dari balik semak belukar di Everglades, Florida. Bukan, ini bukan tentang ilmuwan berjas putih dengan mikroskop canggih, melainkan tentang seekor kucing hitam rumahan bernama Pepper. Kucing ini, dengan insting berburu alaminya, telah membuka pintu penemuan virus baru yang berpotensi memengaruhi kesehatan manusia—untuk kedua kalinya.

Bangkai Celurut dan Sebuah Penemuan Penting

Kisah terbaru Pepper dimulai seperti banyak kisah kucing lainnya: dengan seekor bangkai. Namun, bangkai kali ini bukanlah mangsa biasa. Itu adalah bangkai celurut, mamalia kecil yang sering ditemukan di wilayah rawa-rawa Florida. Alih-alih menyantapnya atau sekadar meninggalkannya di ambang pintu, Pepper dengan bangga membawanya ke hadapan pemiliknya, John Lednicky.

Lednicky bukanlah pemilik kucing biasa. Ia adalah seorang ahli virologi terkemuka dari University of Florida College of Public Health, seorang ilmuwan yang sepanjang kariernya mendedikasikan diri untuk memahami virus-virus yang menginfeksi mamalia. Melihat "hadiah" dari Pepper, naluri ilmiah Lednicky langsung terusik. Ia tidak melihat bangkai, melainkan sebuah sampel potensial.

Di laboratorium, bangkai celurut itu menjalani serangkaian pengujian cermat. Hasilnya mengejutkan: celurut tersebut membawa strain virus baru dari genus orthoreovirus. Virus ini diketahui memiliki jangkauan inang yang luas, mampu menginfeksi berbagai jenis mamalia, termasuk manusia. Penemuan ini, yang dipublikasikan dalam jurnal Microbiology Resource Announcements, telah memberi nama resmi pada virus tersebut: Gainesville shrew mammalian orthoreovirus type 3 strain UF-1. Seluruh urutan genetiknya kini telah diungkap, membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut.

Orthoreovirus: Ancaman yang Tersembunyi?

Orthoreovirus memang bukan nama baru dalam dunia virologi. Mereka telah lama terdeteksi pada berbagai mamalia, mulai dari rusa berekor putih, kelelawar, hingga manusia sendiri. Namun, dampaknya terhadap kesehatan manusia masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sepenuhnya.

“Kita harus memberi perhatian lebih pada orthoreovirus dan mengetahui cara mendeteksinya dengan cepat,” desak Lednicky dalam pernyataan resminya. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Meski jarang terjadi, virus ini pernah dikaitkan dengan kasus-kasus serius seperti ensefalitis (radang otak), meningitis (radang selaput otak), dan gangguan pencernaan parah pada anak-anak.

Emily DeRuyter, rekan peneliti dan kandidat Ph.D. dari University of Florida, menjelaskan bahwa orthoreovirus awalnya dianggap sebagai "orphan virus"—virus yang ditemukan di dalam tubuh inang, tetapi tidak diasosiasikan dengan penyakit tertentu. “Namun,” DeRuyter memperingatkan, “penelitian terkini justru menunjukkan potensi ancaman klinisnya terhadap sistem pernapasan, saraf pusat, hingga saluran pencernaan.”

Lebih mengkhawatirkan lagi, studi terbaru ini juga mengungkap kemampuan dua jenis orthoreovirus untuk menginfeksi sel secara bersamaan. Mekanisme ini, mirip dengan cara kerja virus influenza, memungkinkan terjadinya pencampuran genetik dan berpotensi melahirkan varian-varian baru yang belum dikenal sebelumnya—sebuah skenario yang bisa memiliki implikasi serius bagi kesehatan global.

Jejak Sejarah Pepper: Penemuan Jeilongvirus di Amerika Serikat

Ini bukan kali pertama Pepper membuktikan dirinya sebagai kolaborator ilmiah yang tak ternilai. Setahun sebelumnya, pada tahun 2024, Pepper juga sempat menggegerkan laboratorium Lednicky. Kala itu, ia membawa seekor tikus mati ke dalam rumah.

Tikus tersebut, setelah dianalisis, ternyata membawa jeilongvirus, jenis virus yang sebelumnya hanya pernah ditemukan di benua Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Eropa. Virus baru itu kemudian diberi nama Gainesville rodent jeilongvirus 1. Yang lebih mencengangkan, virus ini menunjukkan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang biak di berbagai jenis sel, termasuk sel manusia, hewan pengerat, hingga primata non-manusia.

Lednicky menyebut karakteristik ini sebagai pertanda kuat akan potensi spillover—peristiwa penularan virus dari satu spesies ke spesies lain, termasuk manusia. “Kami percaya kalau kita mencari, kita pasti akan menemukan,” tegas Lednicky. “Dan itulah alasan kenapa virus-virus baru terus bermunculan.”

Pesan dari Kucing Hitam: Pentingnya Mengamati Alam Liar

Meskipun telah menjadi kunci dalam dua penemuan virus signifikan, Pepper sendiri tetap sehat dan tidak menunjukkan gejala sakit sedikit pun. Keadaan ini ironis sekaligus menjadi pengingat penting bagi para peneliti.

Lednicky menekankan pentingnya meneliti hewan liar, bahkan jika ditemukan dalam keadaan mati. “Jika menemukan hewan mati, kenapa tidak diuji saja?” ujarnya. “Banyak informasi bisa kita gali dari situ.”

Kisah Pepper dan bangkai-bangkai yang dibawanya pulang adalah pengingat bahwa penemuan ilmiah tidak selalu berasal dari laboratorium canggih atau teknologi mutakhir. Terkadang, jawabannya bisa datang dari tempat yang paling tak terduga—dari seekor kucing hitam yang hanya mengikuti naluri pemburunya. Penelitian lanjutan kini akan difokuskan pada prevalensi virus ini di kalangan manusia serta tingkat keparahan yang bisa ditimbulkan, termasuk potensi ancaman global dari virus-virus baru yang awalnya ditemukan berkat kecerdikan seekor kucing rumahan. (*)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait
Tag Terkait