BRAVO13.ID, Jakarta - Empat bulan setelah dilantik sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I), Letnan Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo harus menyerahkan tongkat komando. Putra dari Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno ini digantikan oleh Laksamana Muda Hersan, mantan ajudan Presiden Joko Widodo.
Kunto menjadi perwira Angkatan Darat pertama yang memimpin Pangkogabwilhan I—sebuah jabatan strategis yang sebelumnya selalu diisi oleh perwira tinggi TNI Angkatan Laut. Namun masa jabatannya berakhir cepat. Mutasi ini diumumkan melalui Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025 yang ditetapkan pada 29 April 2025, bagian dari rotasi besar-besaran yang melibatkan 237 perwira tinggi.
Bagi publik, mutasi ini tak sekadar soal tour of duty. Nama Kunto tak bisa dilepaskan dari silsilah militer nasional. Sebagai putra dari tokoh senior TNI, Try Sutrisno, dan sejawat seangkatan dengan KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak, karier Kunto selama ini relatif stabil. Ia pernah menjabat sebagai Pangdam Siliwangi, dan sebelumnya juga menjadi Panglima Divisi Infanteri 3/Kostrad.
Kini, Kunto ditugaskan menjadi Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Darat—jabatan yang cenderung administratif. Di sisi lain, penggantinya, Laksda Hersan, mendapatkan promosi pangkat menjadi Laksamana Madya. Hersan bukan nama baru: ia adalah lulusan AAL 1994, dan dikenal publik karena menjadi ajudan Presiden Jokowi pada 2014–2016 serta Sekretaris Militer Presiden pada 2022.
Perubahan ini mencuri perhatian karena terjadi di tengah dinamika politik pascapilpres. Try Sutrisno—ayah Letjen Kunto—baru-baru ini menandatangani delapan tuntutan Forum Purnawirawan, salah satunya mendesak penggantian Gibran Rakabuming Raka dari posisi Wakil Presiden terpilih.
Meski demikian, TNI melalui Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Kristomei Sianturi membantah keras dugaan keterkaitan mutasi dengan tekanan politik. “Mutasi dan rotasi jabatan di lingkungan TNI merupakan hal rutin dan didasarkan pada kebutuhan organisasi,” ujar Kristomei, Kamis (1/5). Ia juga menegaskan bahwa keputusan mutasi tidak terpengaruh oleh posisi atau pernyataan dari purnawirawan manapun.
Dengan mutasi ini, publik kembali diingatkan pada ketegangan antara persepsi netralitas militer dan dinamika politik sipil. Posisi dan promosi jenderal bukan hanya soal militer, tapi sering ditarik dalam diskusi yang lebih luas soal loyalitas dan tekanan politik pasca pemilu.
Sejauh ini, TNI tetap menegaskan komitmennya pada profesionalisme. Namun seiring karier tokoh-tokoh militer seperti Kunto Arief Wibowo terus bergeser, ruang tafsir publik atas dinamika internal TNI pun tak bisa dihindari. (*)