BRAVO13.ID, Samarinda - Di balik tembok Stamford Bridge yang megah, tersimpan kisah tentang seorang pria yang mengubah wajah Chelsea dan sejarah sepak bola Inggris—dan kemudian, dalam sekejap, harus melepaskannya. Siapa yang tak kenal Roman Abramovich? Oligarki asal Rusia itu bukan hanya pemilik klub, tapi juga arsitek kejayaan The Blues selama hampir dua dekade.
Namun, segalanya berubah drastis pada awal 2022. Invasi Rusia ke Ukraina mengguncang dunia, dan nama Abramovich ikut terseret dalam pusaran sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintah Inggris. Dalam satu keputusan politis yang tak bisa ia elakkan, Abramovich dipaksa menjual Chelsea, klub yang telah menjadi perpanjangan ambisinya, simbol kekuatannya, dan bagian dari identitasnya.
Mei 2022 menjadi akhir dari sebuah era. Konsorsium asal Amerika Serikat yang dipimpin oleh Todd Boehly dan Clearlake Capital mengambil alih Chelsea dengan mahar fantastis senilai 2,5 miliar poundsterling. Di atas kertas, itu adalah transaksi bisnis. Tapi di balik angka-angka dan pengumuman resmi, tersembunyi drama emosional dan tekanan politik yang menyesakkan.
Abramovich, yang dikenal sebagai sosok pendiam namun penuh pengaruh, akhirnya akan buka suara. Untuk pertama kalinya sejak ia menanggalkan kursi kekuasaan di Stamford Bridge, ia bersedia mengisahkan detik-detik krusial penjualan Chelsea. Dalam wawancara yang dijadwalkan dalam waktu dekat dan sebuah buku yang segera terbit, publik akan diajak menyelami sisi lain dari pengusaha Rusia ini—bukan sebagai pemilik klub, tapi sebagai manusia yang terpaksa melepaskan sesuatu yang begitu ia cintai.
Buku karya Purewal yang akan dirilis oleh Biteback Publishing musim panas ini menjanjikan lebih dari sekadar narasi olahraga. Ini adalah kisah tentang ambisi, geopolitik, tekanan Barat, dan kehancuran pribadi. Menurut laporan Daily Mirror pada Juni 2023, Abramovich kini mulai menjalani kehidupan baru di Istanbul, kota tempat kapal pesiarnya kerap berlabuh. Sebuah pelarian yang tenang dari sorotan London, namun tak sepenuhnya bisa memisahkannya dari masa lalunya.
John Obi Mikel, salah satu pemain yang paling lama merumput di bawah kepemimpinan Abramovich, menyampaikan bahwa sang mantan bos masih menyimpan rasa marah dan kecewa atas cara kepergiannya. Itu bukan sekadar kehilangan aset, melainkan kehilangan bagian dari dirinya. Abramovich tak pernah menganggap Chelsea sebagai investasi biasa. Bagi dia, klub ini adalah laboratorium ambisi, tempat ia mencurahkan hasrat dan uangnya untuk menciptakan dinasti.
Dan memang, warisan itu tak bisa dihapus begitu saja. Selama 19 tahun, Chelsea menjelma dari tim papan tengah yang inkonsisten menjadi kekuatan dominan di Inggris dan Eropa. Lima gelar Liga Inggris, dua trofi Liga Champions, dan belasan gelar lainnya menjadi bukti sahih. Tapi sejak kepemilikan berpindah tangan, Chelsea seakan kehilangan arah. Musim 2022/2023 mereka terdampar di posisi ke-12, dan musim berikutnya pun tak menunjukkan kemajuan signifikan.
Namun, dalam kisah ini, ada satu bab yang nyaris tak pernah ditulis—sebuah "what if" yang bisa mengubah sejarah. Sebelum Chelsea, Abramovich ternyata hampir membeli Arsenal. Fakta ini diungkap dalam buku The Club karya Jonathan Clegg dan Joshua Robinson. Saat itu, konsultan dari UBS, bank Swiss, menyatakan bahwa The Gunners tidak dijual. Satu kalimat itu saja cukup untuk mengarahkan Abramovich ke klub biru London, bukan merah. Satu keputusan yang, tanpa disadari, mengubah peta kekuatan sepak bola Inggris hingga hari ini.
Kisah kegagalan membeli Arsenal hanyalah satu dari banyak cerita dramatis seputar akuisisi klub besar. Seperti Rupert Murdoch yang ambisinya membeli Manchester United pada 1998 kandas karena campur tangan pemerintah, atau Michael Knighton yang berkali-kali gagal menguasai Setan Merah. Semua ini menggambarkan betapa dunia sepak bola, di balik kemilau lapangan hijau, adalah ladang perebutan kekuasaan, uang, dan prestise.
Roman Abramovich mungkin tak lagi berada di pinggir lapangan, tak lagi memberi instruksi diam-diam dari ruang VIP. Tapi jejaknya masih tertinggal di Chelsea, dalam trofi, dalam memori para penggemar, dan dalam sejarah sepak bola modern. Dan kini, ketika ia memilih untuk berbicara, kita pun menanti: apa yang sebenarnya terjadi di balik penjualan Chelsea? Dan bagaimana rasanya kehilangan bukan sekadar klub, tapi bagian dari kehidupan? (*)