BRAVO13.ID, Samarinda - Presiden Prabowo Subianto baru saja menggulirkan wacana untuk membuat aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) menjadi lebih fleksibel. Langkah ini dinilai sebagai strategi agar Indonesia lebih kompetitif dalam kancah perdagangan global, terutama saat menghadapi tekanan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Namun, gagasan ini memunculkan perdebatan. Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi dan ekonomi digital, menyebut pelonggaran TKDN memiliki dua sisi: bisa menjadi nilai tawar dalam negosiasi bilateral, namun berisiko memukul industri komponen lokal yang sedang tumbuh.
“Jika ini bagian dari negosiasi dengan Amerika Serikat, memang ada nilai plusnya. Tapi kalau tidak hati-hati, bisa bikin industri dalam negeri kolaps,” ujar Heru kepada Liputan6 Tekno, Kamis (10/4/2025).
Isu ini mengemuka tak lama setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan tarif impor resiprokal terhadap beberapa negara, termasuk Indonesia. Dalam aturan baru yang saat ini masih ditunda penerapannya, tarif impor produk Indonesia ke AS naik drastis hingga 32 persen.
Menurut Heru, pelonggaran TKDN memang bisa digunakan sebagai alat negosiasi untuk menekan tarif tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa perubahan kebijakan ini tak serta merta akan membuat AS melunak.
“Trump punya agenda proteksi yang jauh lebih besar. Jadi mengurangi TKDN belum tentu membuat mereka menghapus tarif itu,” tuturnya.
Heru juga menyoroti dampak jangka panjang jika kebijakan ini dijalankan. Menurutnya, industri lokal akan makin bergantung pada impor komponen murah, sehingga memperbesar defisit neraca dagang dan membuat ekonomi Indonesia lebih rentan terhadap fluktuasi global.
“Kalau industri ponsel besar tak lagi memesan komponen dari pabrikan lokal, bisa-bisa mereka gulung tikar. Ini bahaya,” tambahnya.
Meski dari sisi efisiensi biaya produksi, pelonggaran TKDN dapat membuat produk Indonesia lebih kompetitif di pasar global—termasuk di AS dan Tiongkok—Heru menilai pendekatan ini bukan solusi ideal.
Sebagai alternatif, Heru mendorong pemerintah untuk memperkuat TKDN dengan pendekatan inovatif, bukan sekadar bertumpu pada perakitan. “Contohnya, kembangkan chip lokal atau komponen bernilai tinggi seperti yang dilakukan Vietnam. Pelonggaran TKDN itu justru langkah mundur,” katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya kebijakan jangka panjang yang cerdas agar TKDN menjadi pendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja.
“Tanpa TKDN, Indonesia hanya akan jadi pasar. Tidak ada yang mau investasi besar-besaran di sini,” tegasnya.
Jika pun pelonggaran dilakukan, Heru menyarankan agar itu diterapkan terbatas hanya pada produk elektronik dari AS, bukan berlaku umum. Ia mencontohkan keberhasilan TKDN pada sektor ponsel yang mampu menciptakan lapangan kerja, menarik investasi, dan menyumbang penerimaan pajak.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai relaksasi TKDN bisa memunculkan ketidakadilan bagi perusahaan yang telah lebih dulu berinvestasi di Indonesia.
“Mereka bisa memilih cabut pabriknya dan menjadi importir penuh. Kita jadi negara pedagang, bukan produsen,” katanya.
Namun, Nailul juga melihat peluang. Menurutnya, pelonggaran aturan bisa mendorong masuknya teknologi baru ke Indonesia, karena selama ini banyak perusahaan teknologi global enggan masuk akibat aturan TKDN yang dianggap terlalu ketat.
Meski begitu, ia menekankan pentingnya tetap mempertahankan prinsip TKDN, dengan opsi relaksasi bersyarat. Misalnya, perusahaan asing tetap wajib membangun manufaktur dalam jangka waktu tertentu setelah masuk ke pasar Indonesia.
“Relaksasi ini memang terlihat tak adil bagi perusahaan lama, tapi bisa jadi pintu masuk teknologi baru. Intinya, kebijakan ini harus dibuat cermat dan adil,” tutupnya. (*)