
BRAVO13.ID, Samarinda - Hujan deras baru saja reda, namun genangan air masih tersisa di sepanjang Jalan Damanhuri, Samarinda Utara. Bagi warga, ini bukan sekadar genangan biasa, melainkan gambaran nyata dari buruknya pengelolaan tata ruang di kota mereka. Kini, rencana pembangunan kolam retensi di wilayah tersebut kembali menyorot perhatian, bukan sebagai solusi yang disambut baik, tetapi sebagai kebijakan yang justru memicu konflik baru.
Anggota DPRD Kota Samarinda dari Dapil V, Andriansyah, menilai proyek ini tidak terlepas dari lemahnya perencanaan tata ruang. Ia menegaskan, banyak kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air justru diberikan izin untuk pembangunan permukiman. Akibatnya, saat kebutuhan akan infrastruktur pengendali banjir muncul, pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit.
“Kalau sejak awal daerah itu memang diperuntukkan sebagai kawasan resapan air, maka tidak boleh ada izin perumahan di sana. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, sehingga ketika kolam retensi ingin dibangun, muncul persoalan baru: keberadaan warga yang sudah lama tinggal di sana,” ujar Andriansyah.
Kini, dengan kawasan yang telah dipadati pemukiman, pembangunan kolam retensi berpotensi memicu konflik sosial. Relokasi warga menjadi konsekuensi logis, tetapi proses ini tidaklah mudah dan pasti menghadapi penolakan dari masyarakat.
“Pemerintah sekarang ingin membangun kolam retensi di area yang sudah dihuni banyak warga. Artinya, akan ada relokasi, dan ini pasti menimbulkan gejolak sosial. Ini yang saya kritik, karena akar masalahnya ada pada lemahnya pengawasan dan ketidakpatuhan terhadap rencana tata ruang,” tegasnya.
Andriansyah mendesak Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis yang bertanggung jawab atas perizinan untuk lebih tegas dalam menjalankan aturan. Menurutnya, tanpa pengawasan yang ketat dan kebijakan yang konsisten, persoalan seperti ini akan terus berulang dan berdampak langsung pada masyarakat.
“Setiap kebijakan harus dipikirkan dengan matang. Kalau ada izin yang dikeluarkan tidak sesuai aturan, harus ada tindakan tegas. Jangan sampai ini menjadi kebiasaan yang merugikan warga dan menambah daftar panjang permasalahan perkotaan,” imbuhnya.
Kini, masyarakat Samarinda menunggu jawaban. Apakah pemerintah tetap bersikukuh membangun kolam retensi dengan konsekuensi relokasi, atau mencari alternatif yang lebih adil? Satu yang pasti, tanpa tata ruang yang tertata dengan baik, kebijakan seperti ini hanya akan menjadi lingkaran permasalahan yang terus berulang, menambah beban bagi kota yang seharusnya berkembang dengan lebih terencana. (adv)