Bravo 13
Cahaya dari Delta Mahakam, Sekolah Terapung yang Menyelamatkan GenerasiPernah terjebak dalam gelap dan sunyi, sekolah di delta Mahakam ini kini memantulkan cahaya—bukan hanya dari matahari, tapi dari harapan.
Oleh Bobby Lolowang2025-10-31 22:40:00
Cahaya dari Delta Mahakam, Sekolah Terapung yang Menyelamatkan Generasi
Guru penggerak bersama siswa SMP Negeri 6 Anggana membaca buku di depan kelas. Sekolah ini menjadi bagian dari program CSR Sekolah Negeri Terapung Pertamina Hulu Mahakam yang mengembangkan pendidikan pesisir berbasis energi bersih. (Bobby Lolowang/Bravo13.id)

BRAVO13.ID, Anggana - Di ujung delta Mahakam, tempat sungai bertemu laut dan daratan kian menyempit, kehidupan warga Desa Sepatin dulu berjalan dalam kegelapan — secara harfiah maupun harapan. Tak ada listrik siang hari, tak ada sinyal internet, dan pendidikan berhenti di batas rawa. Hingga energi bersih dan pendampingan guru dari Pertamina Hulu Mahakam mengubah arah cerita di pesisir itu.

Peradaban di Desa Sepatin, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara, diketahui sudah ada sejak 1871. Perairan di kawasan ini konon pintu masuk ke Samarinda. Dulunya dikenal dengan sungai yang dipenuhi ikan patin, sumber nama “Sepatin” itu sendiri. Pemerintahan desa bahkan sudah terbentuk sejak 1941 pada masa Kesultanan Kutai, sebelum republik berdiri. Tapi di tengah sejarah panjang itu, kehidupan warganya tak kunjung terang.

Desa ini berdiri di paling ujung delta Mahakam. Luasnya lebih 55 ribu hektare. Isinya lebih banyak air daripada darat. Dari empat RT, tiga di antaranya berada di tepi rawa, dihuni sekitar 3.000 jiwa. Abrasi terus menggerus pinggir sungai, rata-rata tiga hingga lima sentimeter per tahun, terutama di kawasan RT 1. Tanah di tepi sungai hilang perlahan, meninggalkan tiang-tiang kayu bekas fondasi.

Yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya daratan yang menyusut, tapi masa depan generasinya. Tak ada SMA di sana. Pilihan terdekat dan realistis bagi lulusan SMP adalah ke Anggana darat, dua hingga tiga jam perjalanan sungai dengan biaya sekitar Rp750 ribu sekali jalan. Perjalanan itu juga tak selalu mudah—arus sungai bisa deras, dan di beberapa titik, buaya kerap muncul di permukaan air. Tak heran dulu rata-rata hanya empat dari sepuluh siswa yang melanjutkan pendidikan.

Yang perempuan menikah muda, yang laki-laki ikut melaut. Sebagian mulai menghasilkan uang—dan sebagian menghabiskannya untuk narkoba yang ironisnya lebih mudah ditemukan di sini daripada buku pelajaran. “Polsek sering razia, tapi sulit. Kapal belum sempat sandar, mereka sudah kabur,” cerita warga setempat.

Desa ini memang wilayah 3T, terpencil, terluar, tertinggal—dan di titik-titik semacam ini, narkoba sering tumbuh subur di tengah sepi dan tanpa pengawasan. Di beberapa rumah, ibu-ibu masih bisa bermain gaplek sambil mengisap sabu. Tak ada rasa asing, tak ada rasa takut, karena kebiasaan itu sudah lama menjadi bagian dari lingkungan mereka.

“Masalah narkoba di sini luar biasa,” ujar Kepala Desa Sepatin Arianto Juanda di Sepatin, Selasa, 14 Oktober 2025. “Kami bahkan punya kasus anak muda sampai stadium empat.” Istilah itu bukan keterangan medis, tapi cara Arianto menggambarkan betapa serius masalah narkoba di desanya.

Di tengah situasi itu, pendidikan menjadi satu-satunya ruang yang masih berusaha menyalakan arah hidup anak-anak Sepatin. Tapi bahkan sekolah pun tak selalu sanggup bertahan. SMP Negeri 6 Anggana, satu-satunya sekolah menengah di pulau itu, dulu hanya menumpang di SD 016 Anggana. Listrik menyala setengah hari, sinyal internet nyaris tak ada.

Keterbatasan akses digital membuat anak-anak di Sepatin hidup dalam ruang belajar yang sempit. Internet hanya tersedia di beberapa lokasi, dan koneksinya sering terputus. Tanpa sumber belajar daring yang memadai, mereka sulit membayangkan bagaimana pendidikan berjalan di kota besar atau di pulau lain.

Sedangkan guru-guru yang baru ditempatkan di Sepatin seperti diuji ketahanan hidup. Malam hari, pukul tujuh, semua sudah masuk kelambu. Nyamuk, sepi, dan rasa terisolasi membuat banyak dari mereka meminta pindah hanya dalam hitungan hari. Sekolah ini bahkan pernah nyaris tanpa guru tetap, sampai kepala sekolahnya, Tandarman, harus mengajar semua pelajaran sendiri. “Ibarat kunci inggris, semua masuk,” katanya sambil tertawa tipis.

SMP Negeri 6 Anggana berdiri pada 2012. Sebelum itu, anak-anak di Sepatin hanya punya SMP Terbuka. Sampai 2019, sekolah itu hanya punya tiga piala. Tak ada prestasi menonjol, apalagi kebanggaan.

Kondisi itu bertahan selama bertahun-tahun. Tak banyak yang berubah selain usia bangunan dan semangat guru yang perlahan menurun. Hingga pada 2020, perhatian datang dari wilayah operasi migas di sekitarnya.

Pertamina Hulu Mahakam (PHM) datang lewat program CSR Sekolah Negeri Terapung. Langkah pertama mereka adalah menghadirkan energi bersih melalui Solar Home System (PLTS) di sekolah dan permukiman. Sebelumnya, listrik hanya menyala 12 jam sehari—hidup pukul 6 sore, mati pukul 6 pagi. Siang hari, warga harus menyalakan mesin diesel untuk menyalakan kipas, printer, atau lampu belajar. Sekarang, panel surya di atap sekolah menyalakan ruang belajar 24 jam penuh.

Bangunan SMP Negeri 6 Anggana berdiri di atas rawa pesisir Desa Sepatin, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara. (Bobby Lolowang/Bravo13.id)

“Dengan tenaga surya, aktivitas belajar bisa berlangsung sepanjang hari tanpa ketergantungan pada mesin diesel,” kata Achmad Krisna, Head of Communication, Relations & CID Zona 8 PHM. “Selain lebih efisien, ini juga mendukung pengurangan emisi karbon di wilayah operasi kami.”

Bravo13.id bersama berbagai media lainnya, mengunjungi Desa Sepatin dan SMP Negeri 6 Anggana pada Selasa, 14 Oktober 2025, untuk melihat langsung pelaksanaan program CSR PHM bertajuk Sekolah Negeri Terapung. Kunjungan ini menjadi kesempatan bagi jurnalis menyaksikan dari dekat bagaimana energi bersih, pendampingan guru penggerak, serta penguatan pendidikan pesisir dijalankan di salah satu wilayah paling terpencil di delta Mahakam.

Sebagai wilayah operasi migas, kawasan pesisir menjadi perhatian PHM. Program tanggung jawab sosial bertajuk Sekolah Negeri Terapung memiliki fokus terhadap dua hal: pendidikan pesisir dan energi berkelanjutan.

“PHM berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan di sekitar wilayah operasi kami,” tambah Achmad Krisna. “Kami melihat banyak ketertinggalan, terutama di desa 3T seperti Sepatin dan Tani Baru. Infrastruktur pendidikan dan sarana belajar di sana sangat terbatas.”

Program itu berangkat dari realitas lapangan, terutama sekolah yang hanya memiliki listrik 12 jam. PHM kemudian memfasilitasi pembangunan sistem energi surya di SMPN 6 Anggana.

Energi itu menjadi titik balik. Dengan listrik yang stabil, SMPN 6 Anggana bisa melaksanakan ujian daring, kelas tambahan malam, hingga pelatihan guru berbasis digital. Internet Starlink juga dipasang, membuka dunia baru di tengah rawa Mahakam.

“Sekarang 24 jam di sekolah ini berkat listrik tenaga surya. Terima kasih banyak atas dukungan PHM,” timpal Tandarman.

Selain tenaga surya, program tersebut membawa guru penggerak dan pendampingan pendidikan ke kawasan pesisir yang terputus dari sistem utama. “Sejak ada guru penggerak, sekolah kami seperti hidup kembali. Kami digembleng, diarahkan, dan berbenah,” tambahnya.

Perubahan mulai terasa sejak tahun pertama. Tidak ada lagi siswa yang berhenti di SMP. Lebih dari 100 pelajar dari pesisir kini melanjutkan ke SMA dan perguruan tinggi.

Selama 2022–2024, siswa SMPN 6 Anggana mencatat 62 prestasi dari tingkat kecamatan hingga internasional. Dari juara Olimpiade Sains Nasional hingga pemenang lomba menggambar internasional.

Salah satunya adalah Ainun, siswi kelas 7 SMPN 6 Anggana. Gambar karyanya, yang menampilkan enggang dan rusa sebagai simbol harmoni alam Kalimantan, dipamerkan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. “Saya gambar tentang alam dan hewan nasional. Terinspirasi dari lingkungan sekitar,” katanya pelan. Ainun mengaku, peran guru di sekolah membuatnya berani bermimpi lebih jauh. “Senang, guru-gurunya asik. Penjelasannya mudah diterima,” tambahnya sambil tersenyum.

Bagi Naila Faza Kamila, guru penggerak PHM, rahasia perubahan itu sederhana: ketika guru tumbuh, murid ikut bertumbuh. “Siswa berprestasi ketika gurunya berprestasi,” ujarnya.

Melalui pendampingan guru penggerak dan dukungan CSR Pertamina Hulu Mahakam, para guru di SMPN 6 mulai menemukan cara baru untuk berkembang. Dari proses itu, lahir banyak prestasi. Salah satunya, Nurul Fitriana, S.Pd., kini menjadi penerima beasiswa Fullbright ke Amerika.

Kini SMPN 6 Anggana mencatat sederet capaian. Sekolah ini sampai kesulitan mencari tempat menaruh puluhan trofi, medali, dan piagam. Mereka meraih predikat Sekolah Adiwiyata Provinsi 2025, serta menjadi Sekolah Rujukan Google, satu-satunya di Anggana.

Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) disebut sebagai salah satu kunci dari pengembangan karakter pelajar SMPN 6. Di sini, para murid diajarkan kepekaan melihat lingkungan, memecahkan masalah, dan melakukan aksi nyata.

Perwakilan Pertamina Hulu Mahakam berbincang dengan siswa SMP Negeri 6 Anggana dalam kegiatan pembelajaran digital. (Bobby Lolowang/Bravo13.id)

Dari program P5 jua lahir kegiatan seperti Mangrove Penjaga Desaku dan Berprestasi Tanpa NAPZA—inisiatif siswa yang mengedukasi warga tentang konservasi pesisir dan bahaya narkoba. Program yang sederhana itu menandai perubahan besar: anak-anak pesisir Mahakam kini tidak lagi takut bermimpi.

Selain energi bersih, PHM juga memperluas dukungan sosial ke infrastruktur sekitar sekolah: perbaikan jembatan kayu sepanjang tujuh kilometer, pembangunan rumah dinas guru, dan bantuan sarana belajar.

PHM mencatat, sejak 2022, sekolah-sekolah di bawah program Sekolah Negeri Terapung berhasil menekan emisi hingga 7.638 ton CO₂ per tahun berkat pemanfaatan PLTS dan solar home system. Selain itu, biaya operasional berkurang Rp38 juta per tahun, dan penghematan transportasi siswa mencapai Rp460 juta per tahun setelah dibangun jembatan penghubung.

Isu lingkungan juga menjadi bagian dari pendekatan sosial perusahaan. Bersama pemerintah desa dan warga, PHM menanam mangrove di titik abrasi terparah di Sepatin. “Kami bekerja sama dengan Pertamina Foundation untuk kegiatan rehabilitasi mangrove,” jelas Krisna. “Langkah ini membantu menahan laju abrasi sekaligus menjadi sarana edukasi bagi siswa tentang lingkungan.”

PHM juga memfasilitasi bimbingan belajar dan pendampingan bagi siswa yang ingin kuliah, termasuk latihan UTBK. Dalam empat tahun terakhir, lebih 100 siswa pesisir melanjutkan ke SMA dan perguruan tinggi. Beberapa lulusan bahkan kembali ke Sepatin menjadi guru.

Selain dukungan korporasi, pemerintah desa menggerakkan jalur religius untuk pencegahan narkoba. Pendidikan agama digratiskan, dan anak-anak yang lulus SMP dibiayai untuk mondok di pesantren. “Kami ingin anak-anak Sepatin punya daya saing, bukan hanya bertahan hidup,” ujar Arianto.

Bagi Tandarman, perubahan paling terasa bukan sekadar infrastruktur, tapi mentalitas. “Sekarang anak-anak punya mimpi. Mereka lihat guru bisa berprestasi, bisa sekolah tinggi, bisa pergi ke luar daerah. Mereka ingin ikut,” katanya.

Di wilayah yang dulu dikenal karena gelap dan sunyi, kini cahaya menjadi simbol kebangkitan.

“Kalau dulu, sekolah merasa sendiri,” kata Tandarman. “Sekarang, kami punya energi, punya arah, punya harapan.”

Kini, SMPN 6 Anggana tak lagi merasa sendirian. Para guru yang dulu datang dari Balikpapan dan Tenggarong tetap bertahan. Siswa yang dulu enggan sekolah kini melanjutkan kuliah. Bahkan, ada yang kembali mengajar di Sepatin—membayar utang masa depan dengan cahaya yang dulu mereka terima.

Di ujung delta Mahakam, di mana air dan langit sulit dibedakan, cahaya matahari kini menjadi penanda kehidupan. Panel surya di atap sekolah itu bukan sekadar alat, tapi simbol perubahan: dari kegelapan menuju pengetahuan, dari keterpencilan menuju kemandirian.

Energi bersih mungkin datang dari langit, tapi harapan tumbuh dari manusia yang menolakpadam.(*)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait