BRAVO13.ID, Samarinda - Di tengah desakan untuk mempercepat denyut perekonomian daerah, sebuah realitas finansial yang kontras terkuak: senyapnya dana triliunan rupiah milik pemerintah daerah yang justru teronggok beku di rekening perbankan. Fakta ini, yang secara tajam disoroti oleh Kementerian Keuangan, kini memicu perhatian serius di Senayan.
Mukhamad Misbakhun, Ketua Komisi XI DPR yang membidangi keuangan, melayangkan kritik substantif terhadap kondisi ini. Angka yang mencengangkan, berdasarkan data Bank Indonesia, menunjukkan bahwa hingga akhir September 2025, total simpanan kas daerah—gabungan dari provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia—telah mencapai angka masif Rp 234 triliun.
"Angka Rp 234 triliun ini jelas bukan jumlah yang bisa diabaikan. Ini adalah modal besar yang seharusnya menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi dan akselerasi belanja di daerah," tegas Misbakhun dalam keterangan tertulisnya pada Minggu (26/10/2025), suaranya menggarisbawahi urgensi pemanfaatan dana tersebut.
Misbakhun mengingatkan kembali pada nafas fundamental dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dana Transfer ke Daerah (TKD), sebutnya, dirancang sebagai urat nadi keuangan yang harus dikelola dengan efisien untuk menghasilkan efek berganda yang nyata.
"Esensi dari dana TKD adalah menjadi motor penggerak ekonomi lokal. Jika aliran dananya dikelola secara cepat dan tepat, dampaknya akan segera membumi—mulai dari peningkatan kualitas layanan publik, tuntasnya pembangunan infrastruktur yang dinanti, hingga penciptaan peluang kerja baru," urainya, melukiskan potensi manfaat yang kini terhenti.
Namun, Misbakhun menolak narasi simplistik yang hanya menyalahkan pemerintah daerah. Ia menekankan bahwa masalah dana mengendap ini adalah lapisan kompleks yang membutuhkan telaah mendalam, jauh melampaui stigma kelalaian.
"Kita tidak bisa serta-merta menuding. Perlu ada upaya investigatif yang komprehensif. Apakah akar masalahnya terletak pada perencanaan APBD yang belum harmonis dengan APBN? Apakah ada regulasi yang masih menggantung? Atau, justru ini adalah imbas dari proses pengadaan yang berlarut-larut, bahkan mungkin semata-mata karena sikap kehati-hatian Pemda dalam menjaga likuiditas kas mereka?" paparnya, menyerukan pendekatan yang multidimensi.
Maka, solusinya, menurut Misbakhun, adalah kolaborasi dan pengawasan yang lebih solid. Ia mendesak Kementerian Keuangan untuk merangkul Kementerian Dalam Negeri dalam memperkuat koordinasi, pembinaan, dan monitoring terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Langkah sinergis ini krusial. Tujuannya hanya satu: memastikan realisasi belanja daerah tereksekusi secara tepat waktu, tepat sasaran, dan membawa hasil nyata—terutama saat kita melaju kencang menuju penutupan tahun anggaran 2025," tutupnya, mengakhiri pesannya dengan desakan yang tak terhindarkan untuk bertindak. Dana Rp 234 triliun itu kini menanti untuk dibebaskan dari keheningan rekening, siap untuk disuntikkan kembali ke nadi pembangunan. (*)

