
BRAVO13.ID, Tenggarong – Di ruang pamer yang tenang di Museum Nasional Jakarta, seorang pengunjung berdiri terpaku di depan sebatang batu tinggi berwarna cokelat kehitaman. Ukiran aksara Pallawa di permukaannya seakan masih hidup, bercerita tentang masa ketika Nusantara baru belajar menulis sejarahnya sendiri. Batu itu adalah Prasasti Yupa dari Muara Kaman, Kutai Kartanegara — peninggalan abad ke-4 yang kini kembali menjadi perhatian dunia.
Dalam forum resmi di UNESCO, Yupa disebut sebagai catatan sejarah tertua Indonesia, jauh melampaui dokumen-dokumen lain yang lebih dikenal publik. Pernyataan ini disampaikan oleh Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Prof. Dr. Ismunandar, dalam seminar yang digelar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, Selasa (22/7/2024).
“Prasasti Yupa dari abad ke-4 Masehi menjadi bukti tertulis paling awal tentang peradaban di Nusantara. Usianya jauh lebih tua dari dokumen lain yang sudah diakui UNESCO,” ujarnya.
Pernyataan ini menjadi momentum penting dalam upaya pengajuan Yupa sebagai Memory of the World (MoW) UNESCO. Selama ini, naskah seperti La Galigo, Babad Diponegoro, hingga Nagarakretagama sudah lebih dulu mendapat pengakuan internasional. Namun, Yupa — yang berasal dari masa Kerajaan Kutai Martadipura, kerajaan tertua di Indonesia — justru belum pernah masuk daftar itu.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Jogaswara, menegaskan bahwa tujuh batu Yupa yang ditemukan di Muara Kaman adalah tonggak peradaban tertulis pertama bangsa Indonesia. “Nilai arkeologinya sangat tinggi. Karena itu, kami sedang memperkuat kerja sama lintas lembaga untuk mendorong pengakuan internasional,” katanya.
Dari tujuh batu prasasti yang ditemukan, empat telah berhasil dibaca sepenuhnya. Sementara tiga lainnya masih dikaji oleh tim epigrafi BRIN. Kepala Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, Irfan Mahmud, menjelaskan bahwa Yupa bukan hanya benda arkeologi, tapi juga bukti proses adaptasi budaya. “Yupa memperlihatkan bagaimana bahasa Indo-Arya dari India kuno menyatu dengan konteks lokal Nusantara, menandai awal mula interaksi lintas budaya di wilayah ini,” ungkapnya.
Dukungan terhadap pengajuan Yupa juga datang dari Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Kutai Kartanegara. Kepala Bidang Sosial dan Kependudukan BRIDA Kukar, Tulus Sutopo, mengatakan pengembangan situs Muara Kaman tetap menjadi prioritas, meski masih terkendala efisiensi anggaran. “Pemerintah daerah tengah menyiapkan heritage impact assessment sebagai dasar pengembangan kawasan situs agar pengelolaannya lebih berkelanjutan,” jelasnya.
Dokumen nominasi Yupa kini sedang disempurnakan sebelum dikirim ke UNESCO pada November 2025. Jika diterima, batu berukir dari masa Raja Mulawarman itu akan tercatat sebagai warisan dokumenter tertua Indonesia yang diakui dunia — sekaligus mengembalikan suara peradaban yang telah diam selama lebih dari 1.500 tahun. (adv)

