BRAVO13.ID, Samarinda - Pesantren, lembaga pendidikan Islam yang akarnya menghujam jauh ke sejarah Nusantara, belakangan ini harus menghadapi ruang publik yang penuh sorotan, bahkan sesekali bising. Dalam rentang waktu yang berdekatan, dua peristiwa kontras datang menerpa, memaksa komunitas pesantren untuk berkaca dan publik untuk mengevaluasi kembali posisinya dalam narasi kebangsaan modern.
Gelombang pertama datang dari Jawa Timur. Kabar duka menyebar dari Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, di mana musibah robohnya sebuah bangunan menelan korban luka dan duka mendalam. Reruntuhan fisik itu seolah merobohkan sekat-sekat pertanyaan yang selama ini terpendam: Bagaimana standar keamanan dan tata kelola infrastruktur diterapkan di lembaga yang mayoritas dibangun secara swadaya ini? Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan konstruksi, melainkan penanda bahwa institusi berbasis komunitas ini memerlukan perhatian serius dalam hal pengawasan teknis dan pembinaan.
Hampir berbarengan dengan duka di Sidoarjo, pesantren harus menghadapi guncangan di ranah citra. Sebuah tayangan di televisi swasta, yang seharusnya menjadi jendela keunikan kehidupan santri, justru memicu badai kecaman. Tayangan itu dinilai tendensius dan tidak sensitif, menyudutkan tradisi dan rutinitas kehidupan sehari-hari yang telah berabad-abad membentuk karakter santri. Reaksi keras segera muncul, dari para kiai kharismatik, alumni yang kini menjadi tokoh publik, hingga organisasi keagamaan besar.
Dua insiden ini, satu menyentuh aspek keselamatan jiwa dan satu menyentuh martabat spiritual dan budaya, pada dasarnya menyentuh benang merah yang sama: Bagaimana seharusnya pesantren dilihat, diperlakukan, dan dibina di era keterbukaan informasi yang serba cepat ini?
Membaca Makna Pesantren di Tengah Krisis: Refleksi Lukman Hakim Saifuddin
Untuk menelisik lebih dalam makna di balik krisis persepsi ini, Liputan6.com berbincang khusus dengan Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI periode 2014–2019. Sosok yang dikenal moderat ini menawarkan pandangan dari dalam tentang posisi pesantren, tantangan pengawasan pemerintah, dan tradisi penyelesaian masalahnya yang unik.
Lukman menegaskan, pesantren adalah institusi yang jauh lebih tua dari Republik ini sendiri. "Pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan semata, dia juga lembaga dakwah, dia juga lembaga pengembangan masyarakat. Jadi memang punya pengaruh yang sangat luas," ujarnya.
Mengenai musibah di Al Khoziny, Lukman memilih diksi "musibah, kecelakaan"—sesuatu yang tak dikehendaki. Namun, ia menekankan bahwa setiap cobaan adalah medium untuk "naik kelas."
"Jangan hanya memaknai musibah itu dari sisinya yang negatif, yang menyedihkan... Mari kita lihat juga dari sisinya yang positif. Lalu kemudian bisa lebih berbenah diri, lebih mawas diri," kata Lukman, menyarankan agar peristiwa ini dilihat sebagai peluang untuk introspeksi massal.
Introspeksi itu, menurutnya, harus fokus pada tata kelola pembangunan. Lukman mengakui keberagaman pesantren. Walau kurikulum berbeda, mereka memiliki kesamaan dalam pembangunan: swadaya.
"Ada yang betul-betul memenuhi SOP bagaimana lazimnya... Tapi tidak sedikit pesantren yang karena ketidaktahuan, keterbatasan pimpinannya... kemudian tidak mengikuti ketentuan itu sebagaimana mestinya," ungkapnya. Poin pentingnya, musibah ini harus mendesak perbaikan di semua tahapan pembangunan, termasuk pentingnya mitigasi sebagai antisipasi dini.
Keikhlasan di Tengah Tuntutan Hukum
Aspek paling menarik sekaligus kontroversial dari insiden Al Khoziny adalah sikap para wali santri: tidak ada tuntutan hukum. Di mata hukum positif, ini mungkin dipertanyakan, tetapi Lukman melihatnya dari kacamata tradisi pesantren.
"Saya justru bersyukur dengan tidak adanya tuntutan seperti itu. Kalau ada tuntutan, artinya kan ada pihak-pihak yang ingin membawanya ke proses hukum... Dunia pesantren punya cara pandangnya tersendiri ketika menyelesaikan, menyikapi konflik-konflik, peristiwa seperti ini," jelasnya.
Ia tidak menafikan pentingnya pertanggungjawaban bagi pihak yang lalai. Namun, tanggung jawab tidak selalu berujung pada meja hijau.
"Saya setuju harus ada tanggung jawab pihak-pihak yang lalu kemudian karena kelalaiannya... Tapi kalau yang dirugikan dalam tanda kutip, itu lalu kemudian bisa mengikhlaskan, itu kan yang terbaik," tutur Lukman.
Baginya, musibah ini sudah menjadi "pukulan yang luar biasa" dan pelajaran berharga, tidak hanya bagi pesantren tetapi juga bagi pemerintah: "Kenapa kok selama ini kita enggak aware ya, pemerintah misalnya tidak melakukan kontrol, pengawasan, bagaimana konstruksi bangunan-bangunan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan kita."
Pada akhirnya, tantangan bagi pesantren saat ini adalah menjaga marwahnya sebagai benteng moral dan kebangsaan di tengah arus perubahan sosial yang cepat, sambil berbenah diri di aspek teknis dan menghadapi sorotan media yang tak selalu berpihak. Musibah fisik dan guncangan citra ini adalah momen di mana tradisi ditantang untuk naik kelas dan negara diuji untuk membina institusi yang telah berabad-abad menjadi pilar. (*)