BRAVO13.ID, Samarinda - Nama Mohammad Riza Chalid, yang sejak puluhan tahun silam dikenal sebagai saudagar minyak yang jaringannya menggurita di perminyakan nasional, kini menjadi fokus utama perburuan Kejaksaan Agung. Sosok yang selama ini bak hantu—jarang terjamah sorot kamera, santer dikabarkan telah memilih Malaysia sebagai persembunyiannya—harus berhadapan dengan babak paling kelam dalam karier bisnisnya.
Di bawah genderang pemberantasan korupsi era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Riza Chalid resmi menyandang status tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah. Angka kerugian negara yang ditimbulkan oleh ulahnya sungguh fantastis, menciptakan lubang menganga yang mencapai Rp 285 Triliun. Sebuah nominal yang nyaris tak terbayangkan.
Namun, drama ironis dari skandal ini tak berhenti pada sang ayah. Riza Chalid diduga kuat tak sendirian. Ia merajut kongkalikong untuk mengeruk kekayaan Indonesia secara ilegal bersama darah dagingnya sendiri, Kerry Adrianto. Sebuah kolaborasi gelap antara ayah dan anak dalam ranah kejahatan ekonomi.
Operasi Sunyi di Terminal Merak
Jejak persekongkolan ini terkuak terang dalam surat dakwaan Kerry Adrianto, yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Salah satu modus operandi mereka, yang dinilai jaksa merugikan negara hingga Rp 2,9 triliun, berpusat pada Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Merak.
Melalui Gading Ramadhan Joedo sebagai Direktur PT Tangki Merak, Riza dan Kerry secara agresif menawarkan kerja sama penyewaan terminal BBM kepada Hanung Budya Yuktyanta, Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero) saat itu.
Dalam sebuah keputusan yang kini disorot tajam, Pertamina menyanggupi permintaan Riza. Mereka setuju menyewa terminal BBM yang rencananya akan diakuisisi oleh PT Tangki Merak dari PT Oiltanking Merak (sekarang PT Orbit Terminal Merak). Ironisnya, proses akuisisi berlangsung antara April 2012 hingga November 2014, pada saat Pertamina sebetulnya belum memiliki kebutuhan mendesak akan terminal tersebut.
"Pembayaran sewa terminal BBM tersebut telah mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara selama periode tahun 2014-2024 sebesar Rp 2.905.420.003.854,00 yang merupakan pengeluaran PT Pertamina dan/atau PT Pertamina Patra Niaga yang seharusnya tidak dikeluarkan," tegas Jaksa dalam dakwaan mereka.
Akal-akalan ini berjalan mulus lantaran Riza Chalid turun tangan langsung. Ia menjadi personal guarantee dalam pengajuan kredit ke Bank BRI untuk membiayai akuisisi, menjadikan TBBM Merak sebagai jaminan. Kerjasama tersebut bahkan diteken padahal terminal itu secara sah belum menjadi milik Riza atau Kerry.
Manuver Kilat dan Penghilangan Klausul Aset
Dakwaan jaksa melukiskan bagaimana Riza, Kerry, dan Gading—dibantu Irawan Prakoso—terus mendesak Hanung untuk mempercepat proses sewa-menyewa. Desakan ini direspons oleh Hanung dan Alfian Nasution (Vice President Supply dan Distribusi Pertamina) dengan meminta Direktur Utama Pertamina saat itu melakukan penunjukan langsung kepada PT Oiltanking Merak.
Bahkan, untuk memastikan Pertamina tak memiliki hak atas aset vital ini, Kerry dan Gading secara cerdik meminta Alfian untuk menghilangkan klausul kepemilikan aset terminal BBM dalam nota kerja sama. Hasilnya, saat perjanjian berakhir, Terminal TBBM Merak tidak jatuh ke tangan Pertamina.
"Kerja sama sewa TBBM dengan PT OTM tidak memenuhi kriteria pengadaan yang dapat dilakukan penunjukan langsung. Sebab, sewa TBBM Merak bukan termasuk barang atau jasa yang dibutuhkan bagi kinerja Pertamina dan bukan barang/jasa yang tidak dapat ditunda keberadaannya atau business critical asset," urai jaksa, menggambarkan betapa pengadaan ini dipaksakan.
Reputasi Ayah sebagai Mata Uang
Reputasi Riza Chalid sebagai "trader" atau pedagang minyak dan gas (migas) kelas kakap juga menjadi kartu truf dalam kejahatan ini. Reputasi itu menjadi jaminan kepercayaan. Kerry Adrianto, memanfaatkan nama besar ayahnya, berhasil meyakinkan Danny Subrata, Direktur PT Oiltanking Merak 2006-2014. Kerry berjanji, setelah akuisisi oleh PT Tangki Merak, TBBM tersebut akan langsung disewakan kepada Pertamina untuk jangka panjang dengan okupansi penuh.
"Dany percaya karena reputasi ayah terdakwa Kerry sebagai trader migas," tutur JPU, menunjukkan bagaimana sebuah nama besar menjadi alat yang memuluskan perampokan keuangan negara.
Atas segala perbuatannya, Kerry Adrianto dan Riza Chalid didakwa merugikan keuangan negara hingga Rp 285 Triliun dan memperkaya diri hingga Rp 3,07 Triliun.
Sebagian Harta Haram untuk Main Golf
Jaksa penuntut umum Triyana Setia Putra merinci akal bulus anak saudagar minyak itu. Bersama-sama sang ayah dan sejumlah nama lain—termasuk Yoki Firnandi, Agus Purwono, dan Gading Ramadhan Joedo—Kerry terlibat dalam kegiatan sewa kapal dan sewa tangki BBM.
Khusus untuk TBBM Merak, Kerry diduga memperkaya dirinya sendiri, Komisaris PT Pelayaran Mahameru Kencana Abadi (PMKA) Gading Ramadhan Juedo, serta pemilik manfaat PT Tanki Merak dan PT Orbit Terminal Merak, Mohammad Riza Chalid dengan total nilai Rp 2,91 triliun.
Kerry Andrianto, yang diketahui sebagai pemilik manfaat PT Navigator Khatulistiwa, kini mendengarkan dakwaan bersama para terdakwa lain. Mereka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor.
Sementara sang ayah, Mohammad Riza Chalid, tetap menjadi bayangan buruan Kejaksaan Agung. Di balik kerugian triliunan rupiah dan kisah persekongkolan keluarga, negeri ini menanti kembalinya sang saudagar minyak untuk mempertanggungjawabkan lubang raksasa yang ia tinggalkan di keuangan negara. (*)

