BRAVO13.ID, Samarinda - Rabu siang itu, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, aroma perdebatan tentang keadilan terasa pekat. Bukan hanya sekadar angka-angka pasal, melainkan esensi dari bagaimana masyarakat seharusnya menyelesaikan konfliknya. Di tengah hiruk-pikuk politik ibu kota, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, tampil sebagai suara yang merindukan kembalinya kearifan lokal dalam bingkai hukum nasional.
Menghadapi Aliansi Mahasiswa Nusantara (Aman), yang datang membawa aspirasi tentang revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Habiburokhman membuka tirai pada sebuah dilema yang tak jarang menyentuh nurani publik: Haruskah setiap gesekan kecil dalam interaksi sosial berakhir di meja hijau?
Ketika Pendidikan Bertemu Pidana
Ia lantas melontarkan sebuah analogi getir yang sering menjadi berita utama—kisah tentang para guru. “Sekarang aja ada guru cubit murid jadi pidana, guru jewer murid jadi masalah,” ujarnya, nadanya menyimpan ironi terhadap sistem yang seolah terlalu kaku.
Bayangkan, seorang guru yang niatnya mendisiplinkan murid nakal dengan sebuah jeweran ringan—sebuah praktik yang dulu dianggap wajar—kini justru terjerat sebagai tersangka. Habiburokhman mengenang masa lalu, “Dulu kita dipukul pakai penggaris kayu besar kan kita jadi tertib, tadinya nggak hafal doa tertentu, jadi hafal.” Kenangan itu bukan hanya tentang disiplin fisik, tetapi tentang sebuah sistem nilai di mana penyelesaian masalah masih bersifat personal dan komunal.
Menggali Akar Kearifan: Restorative Justice Bukan Hal Baru
Pernyataan ini membawa diskursus pada konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif). Bagi Habiburokhman, konsep ini bukanlah barang impor atau inovasi asing, melainkan darah daging dalam budaya hukum Indonesia. Ia menyebutkan, hukum adat telah lama menghidupi semangat ini, bahkan dalam Qanun di Provinsi Aceh.
Restorative Justice adalah upaya untuk memulihkan hubungan yang rusak akibat tindak pidana, berfokus pada korban, pelaku, dan komunitas, alih-alih hanya menghukum.
“Kalau masalah interaksi masyarakat, apalagi hanya ITE, ujaran, perkelahian pemuda, kalau zaman dulu jarang yang sampai ke kepolisian,” ia melanjutkan. Mengapa? Karena ada ruang bagi musyawarah, tempat di mana keluarga besar kedua pihak bisa berbicara dari hati ke hati. Seringkali, dari sebuah perkelahian, justru terjalin persaudaraan baru.
Menyelaraskan Adat dan Negara
Inilah inti dari apa yang hendak diperjuangkan dalam revisi KUHAP: eksplorasi mendalam terhadap Restorative Justice. Tujuannya adalah menjembatani jurang yang melebar antara kearifan lokal dan formalitas hukum negara, agar tidak terjadi tumpang tindih yang merugikan.
“Nah ini nilai-nilai yang sebetulnya baik, yang sudah kita praktikkan dulu, kita eksplorasi lagi mau kita masukkan ke norma hukum kita,” tegas Habiburokhman.
Di Parlemen, harapan itu kini diletakkan pada amandemen KUHAP. Harapan bahwa hukum nasional dapat menjadi wadah yang lebih fleksibel dan humanis, di mana kasus-kasus ringan tidak serta merta membanjiri pengadilan.
Pungkasnya, ini adalah seruan untuk mencari jalan tengah—sebuah mekanisme hukum yang tidak hanya menghukum, tetapi juga menyembuhkan dan memperbaiki tatanan sosial yang koyak. Sebuah langkah untuk memastikan, “nggak semua-semua salah itu harus ke pengadilan.” (*)