
BRAVO13.ID, Tenggarong - Di tengah banyaknya konflik desa yang berujung di pengadilan karena minimnya literasi hukum, dua wilayah di Kutai Kartanegara memilih jalan berbeda. Desa Liang Ulu di Kecamatan Kota Bangun dan Kelurahan Sangasanga Muara di Kecamatan Sangasanga membuktikan bahwa keadilan bisa dimulai dari pemahaman, bukan sekadar penindakan.
Keduanya resmi dinyatakan sebagai peserta nasional Paralegal Justice Award (PJA) 2025, program Kementerian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Dalam pengumuman resmi per 11 Juli 2025, Liang Ulu dan Sangasanga Muara telah menyelesaikan seluruh tahapan pelatihan dan aktualisasi program, serta tercatat dengan status “Lengkap” di daftar nasional.
“Kalau masyarakat dan pemdes tahu aturan hukum, mereka bisa menyelesaikan persoalan sendiri. Tidak langsung ke aparat penegak hukum, tidak harus ke pengadilan. Inilah yang ingin kita bangun,” ujar Kepala DPMD Kukar, Arianto, saat dikonfirmasi pada Kamis malam (17/7).
Melalui PJA, negara memberi pengakuan resmi bagi kepala desa dan lurah sebagai paralegal berbasis komunitas. Mereka didorong menjadi mediator konflik di lingkungannya, sekaligus pendidik hukum bagi warga. Lulusan program ini menyandang gelar Non-Litigasi Peacemaker (NL.P) dengan pin dan sertifikat resmi dari Kemenkumham.
Capaian ini bukan sekadar administratif. Di Desa Liang Ulu, misalnya, saat terjadi insiden kapal batu bara menabrak keramba dan perahu warga, pemerintah desa turun tangan memediasi. Tanpa proses hukum yang panjang, masalah diselesaikan secara damai melalui kesepakatan ganti rugi yang diterima kedua pihak.
“Inilah bentuk keadilan restoratif di tingkat desa. Hukum hadir lewat pemahaman, bukan semata sanksi,” lanjut Arianto.
Tradisi prestasi Kukar dalam PJA bukan hal baru. Tahun 2023, dua desa—Kersik di Marangkayu dan Ritan Baru di Tabang—masuk nominasi nasional. Setahun kemudian, giliran Desa Batuah dan Kota Bangun II yang berhasil menjadi pemenang. Kini, estafet prestasi itu dilanjutkan oleh Liang Ulu dan Sangasanga Muara.
Lebih dari itu, program ini turut memperkuat kelembagaan desa. Setiap peserta wajib membentuk Kelompok Sadar Hukum (Kadarkum), yang berperan menyosialisasikan regulasi dan menjadi simpul edukasi hukum di tengah masyarakat.
Arianto menegaskan bahwa program ini sejalan dengan pilar pemerintahan Kukar Idaman Terbaik, khususnya dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan desa. Menurutnya, pemerintahan yang baik harus dibangun dari fondasi hukum yang dipahami secara merata—dari kepala desa hingga warga.
“Kita ingin kepala desa melek hukum, bisa menyosialisasikan aturan, dan masyarakatnya sadar hak serta kewajiban hukum,” tegasnya.
DPMD Kukar juga tengah menyiapkan replikasi program ke desa-desa lain. Tujuannya jelas: memperluas dampak, memperkuat budaya hukum lokal, dan melahirkan lebih banyak juru damai di tingkat akar rumput. (adv)