Bravo 13
Pemimpin Thailand dan Kamboja Bertemu, Berusaha Hentikan KonflikKorban jiwa berjatuhan, ratusan ribu mengungsi. Kini, di Malaysia, para pemimpin Thailand dan Kamboja berupaya memadamkan api konflik.
Oleh Handoko2025-07-28 13:25:00
Pemimpin Thailand dan Kamboja Bertemu, Berusaha Hentikan Konflik
Pemimpin Thailand dan Kamboja Bertemu di Malaysia Akhiri Sengketa Berdarah.

BRAVO13.ID, Samarinda - Di tengah gema dentuman artileri yang belum sepenuhnya reda, secercah harapan perdamaian mulai terukir di cakrawala. Senin pagi ini, para pemimpin Thailand dan Kamboja, dua negara bertetangga yang terjerat dalam sengketa perbatasan mematikan, akan duduk bersama di Kuala Lumpur. Pertemuan yang difasilitasi oleh Malaysia ini menjadi respons mendesak terhadap desakan internasional, terutama dari Amerika Serikat, untuk meredakan ketegangan yang telah merenggut puluhan nyawa dan mengusir ratusan ribu warga dari rumah mereka.

Pelaksana Tugas Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, bersama Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, telah mengonfirmasi kehadiran mereka. Sebuah langkah penting, mengingat konflik yang pecah sejak Kamis (24/7) lalu telah menewaskan sedikitnya 35 orang dan menyebabkan eksodus massal lebih dari 218.000 jiwa. Tekanan untuk mengakhiri permusuhan ini datang dari berbagai penjuru, termasuk langsung dari Presiden AS Donald Trump yang tak segan mengancam kelanjutan negosiasi perdagangan jika pertempuran tak kunjung usai.

Ancaman Ekonomi dan Diplomasi Keras Washington

Di balik meja perundingan, bayang-bayang sanksi ekonomi dari Washington terasa begitu nyata. Presiden Trump, melalui platform Truth Social, menegaskan bahwa ia telah berbicara langsung dengan para pemimpin kedua negara. Ancaman pembatalan negosiasi perdagangan dan penerapan tarif 36 persen terhadap sebagian besar ekspor dari kedua negara yang akan berlaku mulai 1 Agustus, menjadi cambuk keras bagi Bangkok dan Phnom Penh.

Hun Manet, dalam unggahannya di media sosial pada Minggu malam, mengonfirmasi kesediaannya untuk menghadiri pertemuan di Kuala Lumpur. Ia bahkan menyebutkan kehadiran Amerika Serikat dan China sebagai penyelenggara bersama. Ini adalah kali pertama keterlibatan China, sekutu dekat Kamboja yang sejak awal menyerukan penyelesaian damai, secara eksplisit diungkapkan dalam agenda pertemuan krusial ini.

Dari sisi Thailand, Phumtham Wechayachai menyampaikan terima kasih atas upaya Trump, namun menggarisbawahi posisi Thailand yang menyetujui gencatan senjata secara prinsip, seraya menekankan pentingnya niat tulus dari pihak Kamboja. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Tammy Bruce, juga menambahkan bahwa Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio telah mendesak kedua belah pihak untuk meredakan ketegangan dan menyepakati gencatan senjata. "AS siap untuk memfasilitasi diskusi lanjutan guna memastikan perdamaian dan stabilitas antara kedua negara," ujarnya.

Saling Tuduh di Medan Perang yang Memanas

Namun, di tengah hiruk-pikuk diplomasi, dentuman senjata masih terus terdengar di beberapa titik perbatasan yang disengketakan. Kedua belah pihak saling tuding, dengan narasi yang kontras mengenai siapa yang memulai dan siapa yang melancarkan agresi. Konflik terbaru ini dipicu oleh ledakan ranjau darat yang melukai lima tentara Thailand pada Kamis lalu, setelah itu eskalasi pun tak terhindarkan. Baik Thailand maupun Kamboja telah menarik pulang duta besar mereka, dan Thailand menutup hampir semua pos perbatasannya, menyisakan jalur bagi pekerja migran Kamboja yang hendak pulang.

Kolonel Richa Suksowanont, Wakil Juru Bicara Angkatan Darat Thailand, menuding pasukan Kamboja menembakkan artileri ke Provinsi Surin, termasuk ke arah rumah-rumah sipil. Ia juga menyebut adanya serangan roket yang menargetkan Kuil Ta Muen Thom, situs kuno yang diklaim oleh kedua negara. "Operasi militer di medan tempur akan terus berlanjut dan gencatan senjata hanya dapat terjadi jika Kamboja secara resmi memulai perundingan," tegasnya. Laporan harian militer Thailand pada Minggu malam mengindikasikan bahwa "situasi tetap sangat tegang dan diperkirakan Kamboja tengah bersiap untuk operasi militer besar sebelum memasuki perundingan."

Sebaliknya, Letjen Maly Socheata, Juru Bicara Kementerian Pertahanan Kamboja, balik menuduh pasukan Thailand meningkatkan kekerasan dengan membombardir wilayah Kamboja pada Minggu pagi, diikuti oleh penyerbuan besar-besaran dengan tank dan pasukan darat. "Tindakan seperti ini merusak semua upaya menuju resolusi damai dan menunjukkan dengan jelas niat Thailand untuk meningkatkan, bukan meredakan, konflik," kecamnya.

Korban Berjatuhan dan Pengungsian Massal

Tragedi konflik ini tercermin dari bertambahnya jumlah korban jiwa dan pengungsi. Thailand pada Minggu melaporkan satu kematian baru dari seorang tentara, meningkatkan total korban tewas di pihak Thailand menjadi 22 orang, yang sebagian besar adalah warga sipil. Kamboja melaporkan 13 korban tewas, meskipun status Letjen Duong Samnieng yang dikabarkan meninggal dalam pertempuran pada Minggu masih belum terkonfirmasi dalam angka tersebut.

Dampak kemanusiaan juga sangat memprihatinkan. Lebih dari 139.000 orang di Thailand telah dievakuasi ke tempat aman, sementara lebih dari 79.000 orang melarikan diri dari tiga provinsi di Kamboja. Banyak desa di perbatasan kini menjadi kota hantu, dengan sebagian besar sekolah dan rumah sakit terpaksa ditutup.

Sengketa wilayah perbatasan antara Thailand dan Kamboja, yang berakar sejak awal abad ke-20 di era kolonial Prancis, kini kembali membara. Pertemuan di Kuala Lumpur hari ini menjadi ujian berat bagi komitmen kedua negara untuk menyingkirkan perbedaan dan memprioritaskan perdamaian demi rakyat mereka yang telah terlalu lama menderita. Akankah diplomasi mampu meredam desingan peluru, ataukah konflik berdarah ini akan terus memakan korban? (*)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait
Tag Terkait