
BRAVO13.ID, Samarinda - Rencana pembangunan sekolah internasional di kawasan Loa Bakung, Samarinda, disambut dengan campuran antusiasme dan kekhawatiran. Di satu sisi, keberadaan fasilitas pendidikan modern dengan standar bilingual menjadi terobosan. Namun di sisi lain, ada kegelisahan soal potensi ketimpangan yang bisa timbul jika tidak dibarengi dengan pemerataan layanan pendidikan.
Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Ismail Latisi, menegaskan bahwa pembangunan sekolah bertaraf internasional memang layak diapresiasi. Namun, ia menekankan pentingnya prinsip keadilan agar seluruh anak Samarinda mendapat kesempatan setara dalam mengakses pendidikan berkualitas.
“Jangan hanya fokus membangun satu sekolah elite, sementara sekolah-sekolah lain masih kekurangan guru, kekurangan ruang kelas, bahkan belum memiliki fasilitas dasar yang layak,” tegas Ismail saat ditemui di ruang kerjanya.
Menurut politisi PKS tersebut, pembangunan sekolah internasional hendaknya dijadikan momentum untuk meningkatkan standar pendidikan di seluruh kota. Ia berharap proyek itu tidak berhenti sebagai simbol prestise, melainkan menjadi pemicu perubahan menyeluruh dalam sistem pendidikan.
“Sekolah internasional jangan sampai jadi simbol eksklusivitas. Pendidikan yang baik harus bisa diakses oleh semua anak, bukan hanya segelintir,” ujarnya.
Ismail juga memberi catatan pada rencana penerimaan siswa yang disebut akan dilakukan melalui seleksi akademik. Ia mewanti-wanti agar sistem seleksi tidak menjadi tembok penghalang bagi siswa dari keluarga ekonomi lemah.
“Kalau seleksi dilakukan, pastikan tidak menjadi penghalang bagi anak-anak dari kalangan bawah. Jangan sampai yang diterima hanya mereka yang mampu membayar bimbingan tes atau fasilitas tambahan lainnya,” jelasnya.
Selain soal akses, Ismail mengingatkan pentingnya penyelesaian akar persoalan pendidikan di Samarinda. Ia menyoroti distribusi guru yang belum merata, minimnya pelatihan tenaga pendidik, serta kurangnya infrastruktur pendidikan dasar di banyak kawasan kecamatan.
“Pendidikan itu bukan soal citra, tapi soal keadilan dan masa depan. Jangan sampai kita membangun tembok tinggi untuk segelintir orang, sementara yang lain tertinggal jauh di belakang,” pungkasnya. (adv)