BRAVO13.ID, Samarinda - Nama Wilmar Group, raksasa agribisnis global yang menjulang tinggi, kembali bergema di lorong-lorong penegakan hukum Indonesia. Setelah didera badai kasus korupsi triliunan rupiah terkait fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada periode 2021-2022, kini perusahaan yang didirikan oleh dua miliarder, Kuok Khoon Hong dan Martua Sitorus, ini terseret dalam pusaran skandal beras oplosan yang tengah diusut oleh Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Wilmar Group bukanlah pemain baru. Berdiri pada tahun 1991 sebagai Wilmar Trading Pte Ltd dengan modal awal hanya 100.000 dolar Singapura dan lima pekerja, kini ia menjelma menjadi konglomerat dengan jejak bisnis yang membentang luas. Dalam daftar miliarder Forbes 2025, Kuok Khoon Hong menempati peringkat ke-1.072 dengan kekayaan $3,4 miliar, sementara Martua Sitorus sedikit di atasnya, di urutan ke-1.045 dengan $3,5 miliar. Kekuatan finansial ini mencerminkan dominasi Wilmar dalam pemrosesan, perdagangan, dan distribusi produk pertanian, mulai dari budidaya kelapa sawit, penghancuran biji minyak, penyulingan minyak nabati, hingga penggilingan tepung dan beras, serta penggilingan dan penyulingan gula. Tak berhenti di situ, sayap bisnis Wilmar juga merambah ke manufaktur produk konsumen, makanan siap saji, oleokimia, biodiesel, dan pupuk.
Di bumi Indonesia, jejak Wilmar tertoreh sejak perkebunan pertamanya di Sumatera Barat seluas 7.000 hektar. Kini, perusahaan ini menjadi salah satu pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, mengelola 36.030 hektar lahan melalui skema petani kecil. Infrastruktur pengolahan yang canggih pun melengkapi operasionalnya, termasuk pabrik penggilingan inti sawit berkapasitas 50 metrik ton per hari di Sumatera Utara dan kilang pengolahan berkapasitas 700 metrik ton per hari di Dumai. Selain produk CPO dan turunannya seperti minyak kemasan bermerek (Sania, Fortune, Sovia, Siip), Wilmar juga merambah pasar pupuk dengan kapasitas produksi 1,2 juta metrik ton per tahun, berfokus pada pupuk majemuk NPK. Di sektor gula, akuisisi PT Jawamanis Rafinasi menempatkan Wilmar sebagai pemain kunci dalam penyulingan gula di Indonesia.
Sebagai perusahaan induk yang mengelola lebih dari 1.000 pabrik manufaktur di lebih dari 30 negara, Wilmar Group dengan bangga memamerkan jangkauan globalnya. Berpusat di Singapura, jaringan distribusinya merentang ke Tiongkok, India, Indonesia, dan 50 wilayah lainnya, didukung oleh sekitar 100.000 pekerja dari berbagai latar belakang. Kiprah Wilmar di pasar modal pun tak main-main. Forbes melaporkan bahwa anak perusahaan Wilmar di Tiongkok, Yihai Kerry Arawana, sukses melantai di Bursa Saham Shenzhen pada tahun 2020 dengan penawaran IPO senilai $2,1 miliar. Di Bursa Efek Singapura (SGX), Wilmar Group tercatat sebagai salah satu perusahaan dengan kapitalisasi pasar tertinggi, menunjukkan kepercayaan investor terhadap fondasi bisnisnya yang kokoh. Catatan terakhir tahun 2024 menunjukkan kinerja keuangan yang impresif: pendapatan $67,2 miliar, total aset $61,8 miliar, dan keuntungan $1,5 miliar.
Skandal CPO: Ganti Rugi Terbesar dalam Sejarah
Namun, di balik gemerlap angka dan ekspansi global, bayang-bayang hukum tak henti membuntuti Wilmar. Kasus korupsi CPO yang mencuat pada tahun 2022 lalu menyeret lima entitas korporasi Wilmar Group: PT Multimas Nabati Asahan, PT Multinabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Dalam sebuah langkah yang mengejutkan publik, kelima perusahaan tersebut menyerahkan total Rp11.880.351.802.619 (Rp11,8 triliun) sebagai pengembalian uang negara kepada Kejagung pada Selasa, 17 Juni 2025.
Harli Siregar, Pejabat Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung kala itu, tak dapat menyembunyikan kebanggaannya. "Ini merupakan presscon terhadap penyitaan uang dalam sejarahnya, ini yang paling besar," ujarnya, menggarisbawahi skala kasus yang luar biasa. Sebelumnya, pada Juli 2022, Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung, Supardi, pernah merinci kerugian keuangan negara dalam kasus CPO mencapai sekitar Rp6 triliun, ditambah kerugian perekonomian negara sekitar Rp12 triliun, dan "illegal gain" atau pendapatan tidak sah sekitar Rp2 triliun. "Total Rp20 triliun lah," tegasnya, menggambarkan betapa masifnya dampak korupsi ini.
Kasus CPO tak hanya menyasar korporasi, tetapi juga menjerat individu-individu kunci di Wilmar Group. Setelah Parulian Tumanggor, mantan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master, kini giliran Muhammad Syafei (MSY), Head of Social Security and License Wilmar Group, yang ditetapkan sebagai tersangka. Ia diduga terlibat dalam kasus penyuapan hakim untuk memuluskan vonis ontslag (lepas) terdakwa korporasi CPO, dengan menyediakan uang senilai Rp60 miliar.
Skandal Beras Oplosan: Ancaman Potensi Kerugian Triliunan Rupiah
Seolah tak ada habisnya, Wilmar Group kembali dihadapkan pada tantangan hukum baru. Kali ini, Satgas Pangan Polri menggeber penyelidikan kasus beras oplosan. Pada Kamis, 10 Juli 2025, pihak perusahaan diperiksa terkait dugaan pelanggaran mutu dan takaran beras. Brigjen Helfi Assegaf, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) sekaligus Kepala Satgas Pangan Polri, mengungkapkan potensi kerugian konsumen yang mengerikan: hingga Rp99 triliun per tahun. Angka ini terbagi atas Rp34,21 triliun untuk beras premium dan Rp65,14 triliun untuk beras medium, sebuah estimasi yang disampaikan langsung oleh Menteri.
Dari hasil penyelidikan awal, tim Satgas Pangan telah turun ke lapangan, mengambil sampel beras di pasar tradisional dan modern. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa lima merek beras premium dari tiga entitas usaha tidak memenuhi standar mutu. Merek-merek tersebut berasal dari PT PIM (dengan merek Sania), PT FS (dengan merek Setra Ramos Merah, Setra Ramos Biru, dan Setra Pulen), serta Toko SY (dengan merek Jelita dan Anak Kembar).
Modus operandinya, menurut Helfi, adalah produksi beras premium dengan mutu yang tidak sesuai dengan standar yang tertera pada label kemasan, baik menggunakan mesin modern maupun tradisional. Tak mau ketinggalan, Kejagung melalui tim Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (P3TPK) pun turut bergerak. Enam produsen beras, termasuk Wilmar Group, telah dilayangkan panggilan pemeriksaan dan diminta menghadap penyidik pada Senin, 28 Juli 2025.
Rentetan skandal ini menyoroti bagaimana Wilmar Group, meskipun berstatus raksasa agribisnis global, tak luput dari jeratan hukum di Indonesia. Apakah Wilmar akan mampu membersihkan namanya dari pusaran tuduhan ini, ataukah kasus-kasus ini akan semakin menggerus citra perusahaan di mata publik dan pasar global? Hanya waktu yang akan menjawab. (*)