Bravo 13
Kisah Amplop Kondangan dan Bayangan Pajak yang Mencekik RakyatAmplop kondangan, simbol kebersamaan, kini jadi sorotan. Akankah negara ikut campur dalam tradisi ini, membebani rakyat dengan pajak baru?
Oleh Handoko2025-07-24 13:04:00
Kisah Amplop Kondangan dan Bayangan Pajak yang Mencekik Rakyat
Bukan hanya jualan online, kini amplop kondangan pun diisukan kena pajak. Wacana yang memicu keresahan dan pertanyaan tentang keadilan.

BRAVO13.ID, Samarinda - Angin segar seolah enggan berhembus bagi masyarakat Indonesia. Di tengah badai kenaikan harga kebutuhan pokok dan beban pajak yang kian menyesakkan, sebuah wacana mencuat dari ruang rapat Gedung DPR RI, menyulut kecemasan dan amarah. Mufti Anam, anggota Komisi VI dari fraksi PDI Perjuangan, dengan nada prihatin melontarkan sebuah pernyataan yang seketika menggegerkan. "Bahkan kami dengar dalam waktu dekat orang yang mendapat amplop di kondangan dan di hajatan akan dimintai pajak oleh pemerintah," ungkapnya, mengisyaratkan langkah pemerintah untuk mengeruk lebih dalam pundi-pundi negara.

Pernyataan Mufti ini bukan sekadar bisikan di telinga kosong. Ia seolah mewakili suara jutaan rakyat yang kini merasa tercekik. "Ini kan tragis. Ini membuat rakyat kami hari ini cukup menjerit," ucapnya dengan nada getir, menggambarkan betapa kebijakan pajak yang ada saat ini sudah terlalu membebani. Tak hanya itu, Mufti juga menyinggung pajak penjualan yang diterapkan pada platform e-commerce seperti Shopee, TikTok, dan Tokopedia, serta beban pajak yang kini juga menghantui para influencer. Seolah tak ada celah bagi masyarakat untuk bernapas lega.

Ketika Amplop Kondangan Pun Diintai: Antara Kebutuhan dan Ketidakadilan

Amplop kondangan, sebuah tradisi turun-temurun yang sarat makna kebersamaan dan gotong royong, kini seolah terancam menjadi objek pengawasan negara. Pemberian uang tunai dalam amplop di acara pernikahan atau hajatan keluarga adalah bentuk dukungan dan doa restu, jauh dari motif ekonomi semata. Namun, di tengah desakan untuk meningkatkan penerimaan negara, segala kemungkinan seolah terbuka. Mufti Anam menyoroti kejanggalan ini, mempertanyakan prioritas pemerintah yang terkesan abai terhadap kesulitan rakyat kecil.

"Rakyat kita hari ini jualan online di Shopee, di TikTok, Tokopedia dipajakin. Bagaimana influencer kita semua sekarang dipajakin," ujarnya, melukiskan gambaran nyata bagaimana setiap lini kehidupan masyarakat kini seolah tak luput dari bidikan pajak. Wacana pajak amplop kondangan ini, jika benar-benar diterapkan, akan menjadi pukulan telak bagi masyarakat, terutama mereka yang hidup pas-pasan dan menggantungkan harapan pada uluran tangan sesama.

Reaksi Cepat Kemenkeu: Meluruskan Isu yang Menggegerkan

Bak disambar petir di siang bolong, pernyataan Mufti Anam sontak memicu kegaduhan. Tak butuh waktu lama, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan segera bergerak meluruskan informasi yang terlanjur menyebar luas. Rosmauli, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, dengan tegas membantah isu tersebut. "Tidak ada kebijakan baru dari DJP maupun pemerintah yang akan memungut pajak dari amplop hajatan atau kondangan, baik secara langsung maupun melalui transfer digital," ujarnya, mencoba menenangkan keresahan publik.

Rosmauli menduga, isu ini muncul akibat kesalahpahaman terhadap prinsip dasar perpajakan. Ia menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, memang disebutkan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis bisa dikenakan pajak, termasuk hadiah atau pemberian uang. Namun, ia menekankan bahwa tidak semua bentuk pemberian masuk dalam objek pajak. "Jika pemberian tersebut bersifat pribadi, tidak rutin, dan tidak terkait hubungan pekerjaan atau kegiatan usaha, maka tidak dikenakan pajak," tegas Rosmauli, memberikan sedikit angin segar di tengah badai kecemasan.

Lebih lanjut, Rosmauli memastikan bahwa hal-hal seperti amplop kondangan tidak akan menjadi prioritas pengawasan DJP. Pernyataan ini sedikit meredakan ketegangan, namun pertanyaan besar tetap menggantung: mengapa wacana semacam ini bisa muncul ke permukaan? Apakah ini sekadar miskomunikasi, atau ada agenda tersembunyi yang belum terungkap sepenuhnya? Isu ini menjadi pengingat betapa sensitifnya kebijakan perpajakan di tengah kondisi ekonomi yang menantang, dan betapa pentingnya komunikasi yang jelas serta empati dari pemerintah terhadap suara rakyat. (*)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait
Tag Terkait