Bravo 13
Ketika Bom GBU-57 Menjelajah Fordow: Tamparan Keras bagi Diplomasi InternasionalRuntuhnya kepercayaan di panggung global ketika bom-bom AS hantam Iran, memicu kecaman dunia dan membahayakan diplomasi.
Oleh Handoko2025-06-23 13:24:00
Ketika Bom GBU-57 Menjelajah Fordow: Tamparan Keras bagi Diplomasi Internasional
Serangan AS ke Iran Picu Kecaman Global, Ketegangan Timur Tengah Memanas.

BRAVO13.ID, Samarinda - Minggu dini hari, 22 Juni 2025, pukul 03.00 waktu setempat, langit di atas Iran tercabik oleh deru pesawat tempur dan ledakan yang menggelegar. Di tengah keheningan, operasi gabungan udara dan laut yang dilancarkan Amerika Serikat mengguncang fasilitas nuklir bawah tanah Fordow, Natanz, dan Isfahan. Enam bom penghancur bunker GBU-57 khusus menghantam jantung Fordow, sementara setidaknya 30 rudal Tomahawk menghujam berbagai target lainnya.

Serangan ini, yang bertepatan dengan waktu serangan militer Israel ke wilayah Iran, bukan sekadar respons sporadis. Ia adalah tamparan telak bagi prinsip-prinsip multilateralisme dan penyelesaian damai melalui diplomasi. Ironisnya, di saat bom-bom Amerika menukik tajam, delegasi Iran dan Uni Eropa tengah bernegosiasi di Swiss, mencoba merajut benang-benang dialog yang mulai putus.

Mardani Ali Sera, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, mengecam keras tindakan sepihak AS. "Tindakan sepihak Amerika Serikat tidak hanya memperburuk konflik, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap mekanisme diplomasi internasional," tegas Mardani. Bagi BKSAP, insiden ini adalah pengingat genting bahwa parlemen di seluruh dunia harus menjadi garda terdepan dalam mencegah konflik, bukan kekuatan militer yang menjadi satu-satunya jawaban.

Gelombang Kecaman dan Seruan Damai: Reaksi Dunia atas Agresi di Fordow

Serangan mendadak Amerika Serikat ke fasilitas nuklir Iran tak hanya meruntuhkan bangunan fisik, tetapi juga memicu gelombang respons dari penjuru dunia. Keprihatinan mendalam dan desakan untuk menahan diri mengalir deras, seolah mengukir sebuah mosaik kekhawatiran global akan potensi eskalasi yang tak terkendali.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Sekretaris Jenderal Antonio Guterres menyuarakan kekhawatiran yang mendalam. "Tidak ada solusi militer. Satu-satunya jalan ke depan adalah diplomasi," tulis Guterres di platform X, memperingatkan bahwa konflik ini bisa dengan cepat lepas kendali. Senada dengan PBB, Uni Eropa melalui Kepala Kebijakan Luar Negeri Kaja Kallas mendesak semua pihak untuk mundur dari tepi jurang dan kembali ke meja perundingan.

Namun, tidak semua suara sama. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer meskipun mengakui program nuklir Iran sebagai ancaman global, tetap bersikeras bahwa AS bertindak untuk mengurangi ancaman tersebut, sambil menyerukan Iran untuk kembali ke meja perundingan.

Sementara itu, negara-negara di Timur Tengah, yang paling merasakan dampak langsung dari setiap gejolak, menyuarakan kecaman dan kekhawatiran. Irak mengutuk keras serangan AS, menyebutnya ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan regional. Qatar dan Oman, yang dikenal sebagai mediator di kawasan, menyayangkan peningkatan ketegangan. Bahkan Arab Saudi, meskipun tidak mengeluarkan kecaman langsung, menyatakan "kekhawatiran mendalam" dan menekankan pentingnya menahan diri.

Di Lebanon, Presiden Joseph Aoun memperingatkan bahwa serangan ini bisa memicu konflik regional yang lebih luas, mengingat rakyatnya sudah membayar mahal akibat konflik sebelumnya. Tak ketinggalan, kelompok-kelompok seperti Houthi di Yaman dan Hamas di Gaza mengeluarkan seruan untuk persatuan umat Islam melawan arogansi Zionis-Amerika.

Dari Asia, Tiongkok melalui media pemerintahnya menyebut serangan AS sebagai "titik balik yang berbahaya," mempertanyakan apakah AS mengulangi kesalahan invasi Irak tahun 2003. Jepang dan Selandia Baru menekankan pentingnya mendinginkan ketegangan dan jalur diplomasi, meski menolak mendukung atau menolak tindakan AS secara langsung.

Di sisi lain, Australia mendesak penyelesaian diplomatik, mengakui ancaman nuklir Iran namun mendorong de-eskalasi. Uniknya, Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani melihat fasilitas nuklir Iran berbahaya bagi kawasan, namun juga berharap aksi militer ini justru bisa membuka pintu bagi negosiasi baru.

Gelombang respons ini mencerminkan kompleksitas dan ketidakpastian yang menyelimuti Timur Tengah. Ketika rudal dan bom berbicara, suara diplomasi menjadi semakin penting untuk didengar. Mampukah dunia menemukan jalan keluar dari lingkaran kekerasan ini, ataukah kita akan menyaksikan eskalasi yang tak terhindarkan? (*)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait
Tag Terkait