
BRAVO13.ID, Samarinda - Di sebuah ruang sidang di lantai gedung DPRD Kalimantan Timur, Samarinda, suara keprihatinan kembali mengemuka. Komisi I DPRD Kaltim menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang menghadirkan pemilik lahan dan perwakilan Dinas PUPR. Topik yang dibahas bukan hal baru, namun belum kunjung usai—ganti rugi atas lahan rakyat yang terdampak proyek pembangunan Jalan Ringroad I dan II di Samarinda.
Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, dalam forum tersebut menegaskan bahwa masih ada sekitar 9 hektare lahan warga yang hingga kini belum mendapatkan pembayaran. Persoalannya rumit dan telah berlangsung selama puluhan tahun, bermula dari keberadaan Surat Keputusan Menteri tahun 1981 yang menghambat proses pencairan.
"Kami mengundang pemilik lahan untuk mendapatkan klarifikasi mengenai tanah seluas 9 hektare yang hingga kini belum terbayarkan. Pihak Dinas PUPR terhambat untuk melakukan pembayaran karena adanya SK Menteri yang dikeluarkan pada tahun 1981," ujar Baharuddin.
Baharuddin menyampaikan bahwa DPRD tidak sekadar menjadi penonton dalam perkara ini. Ia menegaskan bahwa sudah menjadi tanggung jawab moral dan politik sebagai wakil rakyat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. Terlebih, tanah yang disengketakan masih dikuasai dan digunakan oleh warga untuk berbagai aktivitas ekonomi.
"Aktivitas di atas tanah tersebut terus berjalan tanpa adanya kejelasan status dan pembayaran kepada pemiliknya. Kami akan membawa masalah ini ke tingkat kementerian, hingga ke Jakarta, untuk memastikan bahwa hak-hak rakyat tidak terabaikan," tegasnya.
Ia juga menyoroti bagaimana lahan itu selama ini tidak pernah dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain, namun digunakan untuk kegiatan seperti pergudangan, pemukiman, bahkan penambangan. Hal ini memperkuat posisi warga sebagai pemilik sah yang haknya belum dipenuhi.
Komisi I berjanji akan terus memfasilitasi mediasi dan komunikasi antarpihak, dengan tujuan akhir mencari solusi yang adil, legal, dan berpihak pada masyarakat. Bagi Baharuddin, perjuangan ini bukan sekadar soal ganti rugi, tetapi tentang keadilan yang sudah terlalu lama tertunda.
“Kami menekankan bahwa tanah ini tetap dikerjakan dan dikuasai oleh rakyat. Maka, sudah sepatutnya rakyat dibayar sesuai dengan haknya,” tutup Baharuddin. (adv)