Bravo 13
Perang Iran-Israel Guncang Ekonomi Global: Harga Minyak Melonjak, Inflasi MengancamDunia menahan napas. Ketika rudal melesat di Timur Tengah, guncangan ekonominya meresap jauh, mengancam inflasi dan menekan nilai tukar Rupiah.
Oleh Handoko2025-06-18 14:29:00
Perang Iran-Israel Guncang Ekonomi Global: Harga Minyak Melonjak, Inflasi Mengancam
Perang Iran-Israel Guncang Ekonomi Global: Harga Minyak Melonjak, Inflasi Mengancam.

BRAVO13.ID, Samarinda - Ketika rudal-rudal mulai menghujam dan api konflik berkobar di Timur Tengah pada Jumat, 13 Juni 2025, dunia seolah menahan napas. Perang antara Iran dan Israel, yang telah lama menjadi bayangan di cakrawala geopolitik, akhirnya pecah, melemparkan guncangan dahsyat yang tak hanya merenggut kedamaian, tetapi juga mengancam fondasi ekonomi global yang rapuh. Lonjakan drastis harga minyak, bak termometer yang menunjukkan demam tinggi, menjadi sinyal awal bahwa dampak perang ini akan menjalar jauh melampaui medan tempur, menyentuh setiap sudut kehidupan.

Gelombang Gejolak Ekonomi yang Menerjang Indonesia

Di Jakarta, keprihatinan mendalam terpancar jelas dari raut wajah Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati. Dalam konferensi pers APBN KiTa, Selasa (17/6), suaranya terdengar serius saat memaparkan data yang mengkhawatirkan. "Pecahnya perang Israel dengan Iran telah menyebabkan langsung pada hari pertama harga minyak naik lebih dari 8 persen," ujarnya, menjelaskan bagaimana minyak Brent yang semula di bawah USD 70 per barel melesat hingga USD 78 per barel, meski kemudian sedikit terkoreksi ke USD 75.

Angka-angka ini, bagi Sri Mulyani, bukanlah sekadar deretan digit di pasar komoditas. Ini adalah pemicu efek domino yang akan menguncang perekonomian dunia: inflasi global yang merayap naik, tekanan pada nilai tukar mata uang, kenaikan suku bunga yang tak terelakkan, hingga arus modal (capital flow) yang berpotensi berbalik arah dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. "Inilah yang sedang akan terus kita hadapi, geopolitik yang terus meruncing," pungkasnya, menggambarkan badai yang siap menerpa.

Ancaman di Gerbang Selat Hormuz

Peringatan serupa juga digaungkan oleh Syafruddin Karimi, seorang ekonom dari Universitas Andalas. Baginya, perang ini bukan sekadar riak, melainkan gempa dahsyat yang mengguncang fondasi ekonomi global, dan Indonesia tak bisa berdiam diri seolah berada di luar pusaran. "Ketika rudal saling menghujam dan Selat Hormuz terancam blokade, harga minyak langsung melonjak di atas USD 100 per barel," tegasnya, memaparkan skenario terburuk yang bisa terjadi. Ini, menurutnya, bukan lonjakan biasa, melainkan alarm keras bagi negara-negara pengimpor energi seperti Indonesia.

Kenaikan harga minyak secara otomatis akan memperbesar beban APBN melalui subsidi energi, memperlebar defisit transaksi berjalan, dan mendorong inflasi ke level yang mengkhawatirkan. "Pemerintah menghadapi pilihan sulit: menaikkan harga BBM atau menanggung ledakan subsidi yang menggerogoti anggaran pembangunan," ujar Syafruddin, menyoroti dilema yang dihadapi pemerintah.

Irfan Ardhani, pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, senada dengan pandangan tersebut. Dampak seketika dari perang ini, menurutnya, adalah meroketnya harga minyak dunia. Negara-negara pengekspor minyak akan diuntungkan, sementara negara-negara net importir minyak akan terpuruk. "Skenario paling buruk adalah jika terjadi eskalasi peperangan yang membuat supply minyak yang melewati Selat Hormuz terganggu," jelas Irfan. Mengingat 20 persen minyak dunia mengalir melalui selat strategis ini, blokade akan menimbulkan dampak sistemik bagi perekonomian global.

Masa Depan Selat Hormuz: Antara Ancaman dan Kepentingan

Kawasan Teluk Persia, dengan cadangan minyak dunia sekitar 40 persen, adalah jantung energi global. Sebagian besar kekayaan minyak dan gas dari wilayah ini mengalir ke pasar dunia melalui jalur sempit yang vital: Selat Hormuz. Di tengah pusaran konflik Iran-Israel, bayangan penutupan Selat Hormuz muncul ke permukaan, sebuah ancaman yang mampu melumpuhkan pasokan energi global.

Sardar Esmail Kowsari, anggota parlemen Iran sekaligus Komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), sempat menyatakan bahwa opsi penutupan sedang dipertimbangkan. Namun, Duta Besar Iran untuk Republik Indonesia, Mohammad Boroujerdi, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, memberikan klarifikasi yang lebih menenangkan. "Kami sejak dulu kala hingga sekarang adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan Selat Hormuz," ujarnya, menegaskan komitmen Iran untuk menjaga stabilitas di sana. Ia bahkan menuding Israel sebagai "aktor utama yang menyebarkan ketidakamanan" di wilayah tersebut.

Meski demikian, Boroujerdi juga menambahkan sebuah peringatan: "Pada saat bersamaan, kami memiliki kemampuan untuk membalas apabila ada titik yang dibuat menjadi tidak aman, tentu titik serupa di wilayah mereka akan kami buat tidak aman." Mengenai gagasan penutupan Selat Hormuz, Dubes Boroujerdi menyebutnya sebagai pendapat yang sah dalam iklim demokrasi Iran, namun menegaskan bahwa keputusan tersebut baru akan menjadi undang-undang jika disahkan.

Secara historis, Iran memang pernah menggunakan ancaman penutupan Selat Hormuz sebagai alat tawar strategis, seperti pada tahun 2012 sebagai respons atas sanksi AS dan Eropa, namun ancaman itu tak pernah terwujud. Blokade penuh, meskipun akan menyebabkan lonjakan harga energi yang luar biasa dan biaya terkait lainnya, ironisnya, juga akan merugikan ekonomi Iran sendiri, mengingat negara itu sangat bergantung pada jalur yang sama untuk ekspor minyaknya. Satu-satunya negara di kawasan yang disebut tidak akan terdampak langsung blokade ini adalah Israel, yang seluruh konsumsi minyak mentahnya diimpor melalui Mediterania.

Prioritas Keselamatan WNI di Tengah Badai Konflik

Di tengah ketegangan yang memanas, perhatian utama pemerintah Indonesia tertuju pada keselamatan warga negaranya. Ketua DPR RI, Puan Maharani, mendesak pemerintah untuk memastikan keselamatan Warga Negara Indonesia (WNI) di wilayah konflik. "Pemerintah harus selalu memastikan keselamatan WNI kita, khususnya yang tinggal di wilayah terdampak seperti Teheran dan Tel Aviv," tegas Puan, menyerukan agar evakuasi dilakukan jika memungkinkan, dengan kerja sama komunitas internasional.

Puan juga mengimbau WNI di Israel dan Iran untuk tetap waspada dan menjaga komunikasi intensif dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). "KBRI harus hadir secara aktif membantu pemenuhan kebutuhan WNI yang mungkin terjebak atau kesulitan di wilayah konflik," katanya. Selain itu, Puan meminta agar WNI menunda perjalanan ke kawasan terdampak konflik, termasuk ke Israel dan Palestina, meskipun dengan tujuan ziarah keagamaan.

Senada dengan Puan, Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto meminta Menteri Luar Negeri RI, Sugiono, untuk sigap menanggapi situasi dan perkembangan perang Iran-Israel, serta menjalin komunikasi intens dengan perwakilan RI di Iran.

Badai geopolitik di Timur Tengah ini, dengan segala dampaknya terhadap harga minyak dan stabilitas ekonomi global, menjadi ujian berat bagi Indonesia dan dunia. Akankah gelombang gejolak ini surut, ataukah akan terus menerpa dan memaksa setiap negara untuk beradaptasi dengan realitas baru yang penuh ketidakpastian? (*)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait
Tag Terkait