Bravo 13
Ketegangan Memuncak, AS Evakuasi Staf Kedutaan di BaghdadSituasi memanas: AS evakuasi staf kedutaan di Baghdad. Ancaman Iran dan Israel makin genting, perundingan nuklir di ujung tandak.
Oleh Handoko2025-06-12 20:18:00
Ketegangan Memuncak, AS Evakuasi Staf Kedutaan di Baghdad
AS Evakuasi Staf Kedutaan di Baghdad di Tengah Eskalasi Ancaman Iran.

BRAVO13.ID, Samarinda - Bayang-bayang ketidakpastian menyelimuti lanskap politik dan keamanan di Timur Tengah. Kamis (12/5/2025) menjadi saksi bisu keputusan krusial Amerika Serikat untuk mengevakuasi staf non-esensial dan tanggungan mereka dari Kedutaan Besar AS di Baghdad. Langkah dramatis ini, yang pertama kali diungkap oleh BBC, menguak kembali kekhawatiran akan eskalasi konflik di wilayah yang sudah terlanjur bergejolak.

Pihak berwenang AS memang tak merinci alasan pasti di balik keputusan evakuasi ini. Namun, desas-desus yang beredar kencang, diperkuat laporan CBS—mitra BBC di AS—mengungkapkan bahwa pejabat AS telah diinformasikan tentang kemungkinan Israel akan melancarkan operasi militer ke Iran. Kabar ini seperti percikan api yang menyulut kekhawatiran Washington. AS pun mulai mengantisipasi potensi balasan dendam dari Iran yang bisa menyasar aset-aset Amerika di Irak. Wajar jika kemudian muncul imbauan bagi sejumlah warga Amerika untuk segera meninggalkan wilayah tersebut.

Keputusan evakuasi ini datang di saat krusial, ketika pembicaraan AS mengenai program nuklir Iran memasuki fase genting dan terkesan menemui jalan buntu. Meskipun demikian, Utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, tetap dijadwalkan untuk bertemu dengan pejabat Iran dalam putaran keenam perundingan pada Minggu mendatang. Sebuah ironi, mengingat ketegangan justru memuncak.

Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS kepada BBC menegaskan bahwa mereka terus mengevaluasi postur personel di semua kedutaan. "Berdasarkan analisis terbaru kami, kami memutuskan untuk mengurangi jejak misi kami di Irak," katanya singkat, tanpa memberikan detail lebih lanjut.

Sementara itu, dari Washington, Presiden Donald Trump turut bersuara. Saat tampil di Kennedy Center pada Rabu (11/5), ia mengatakan bahwa warga Amerika disarankan untuk meninggalkan wilayah tersebut "karena itu bisa menjadi tempat yang berbahaya, dan kita akan lihat apa yang terjadi." Trump pun menegaskan kembali komitmen AS untuk tidak membiarkan Iran mengembangkan senjata nuklir, menyatakan, "Kami tidak akan mengizinkannya." Namun, nada pesimisme mulai terasa dalam pernyataannya, ia mengaku semakin tidak yakin Iran akan berhenti memperkaya uranium.

Rentetan peristiwa ini semakin runyam dengan terungkapnya panggilan telepon "tegang" selama 40 menit antara Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Netanyahu, yang dikenal sebagai pendukung pendekatan militer ketimbang diplomatik, menambah kompleksitas situasi.

Di tengah situasi yang begitu pelik, masih menjadi pertanyaan besar seberapa besar pengumuman AS ini merupakan respons terhadap ancaman nyata, atau lebih sebagai isyarat politik. Namun, ancaman dari Iran sudah nyata. Menteri Pertahanan Iran Aziz Nasirzadeh tak ragu menyatakan bahwa negaranya akan membalas pangkalan AS di wilayah tersebut jika perundingan gagal dan Trump memerintahkan serangan militer terhadap Republik Islam tersebut.

Sinyal bahaya juga datang dari Pentagon. Dalam kesaksiannya di depan panel kongres pada Rabu (11/6), Pentagon menyatakan keyakinannya bahwa ada "banyak indikasi" Iran "bergerak menuju sesuatu yang akan terlihat seperti senjata nuklir." Tuduhan ini tentu saja dibantah oleh Iran, yang bersikukuh bahwa program pengayaan uraniumnya murni untuk pembangkitan energi sipil, bukan untuk menciptakan bom atom.

Dampak dari ketegangan ini tidak hanya terasa di ranah diplomatik dan militer. Organisasi Maritime Trade Operations (Operasi Perdagangan Maritim) Inggris—bagian dari Angkatan Laut Kerajaan—mengeluarkan peringatan bahwa meningkatnya ketegangan militer di Timur Tengah dapat memengaruhi pengiriman. Pasar pun bergejolak; harga minyak melonjak lebih dari 4% setelah berita evakuasi AS tersiar, mengantisipasi potensi masalah pasokan akibat ketidakamanan regional.

Saat ini, sekitar 2.500 tentara AS masih bermarkas di Irak. Kehadiran mereka menjadi sorotan di tengah memanasnya suhu politik, menyisakan pertanyaan besar tentang masa depan stabilitas di Timur Tengah. Apakah evakuasi ini hanyalah permulaan dari babak baru konflik, ataukah ada celah untuk diplomasi yang mampu meredakan ketegangan? Waktu akan menjawabnya. (*)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait
Tag Terkait