
BRAVO13.ID, Samarinda — Suasana ruang digital kian bising. Di antara percakapan publik yang seharusnya membuka ruang diskusi, tak jarang muncul ujaran kebencian, fitnah, bahkan serangan terhadap privasi. Di tengah situasi tersebut, Ketua DPRD Kota Samarinda, Helmi Abdullah, menyuarakan peringatan: ruang demokrasi bisa rusak jika media sosial disalahgunakan sebagai alat adu domba.
Peringatan itu disampaikannya merespons fenomena doxing—penyebaran informasi pribadi tanpa izin—yang belakangan menimpa sejumlah warga dan aktivis kritis terhadap kebijakan pemerintah. Helmi menyebut praktik semacam itu sebagai bentuk penyimpangan serius dari semangat demokrasi.
“Kebebasan berpendapat bukan berarti bebas menyerang individu atau menyebarkan hoaks. Kita harus lebih dewasa dalam menggunakan ruang publik,” ujar politisi Gerindra itu.
Menurutnya, demokrasi yang sehat tak hanya menjamin kebebasan berekspresi, tapi juga menuntut tanggung jawab dari setiap partisipan dalam ruang publik, termasuk di media sosial. Kritik terhadap pemerintah adalah hal wajar dan sah, tetapi harus disampaikan dengan cara yang etis dan berdasar data.
Helmi juga menyoroti pentingnya peningkatan literasi digital di masyarakat. Ia khawatir rendahnya kemampuan memilah informasi membuat sebagian warga mudah terpancing oleh konten provokatif yang belum terverifikasi. “Media sosial jangan sampai jadi alat memecah belah. Mari jadikan kritik sebagai ruang refleksi, bukan alat propaganda kebencian,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa DPRD Samarinda tetap terbuka terhadap kritik publik, selama disampaikan secara konstruktif dan tidak menjurus pada serangan pribadi. "Kami ingin semua pihak merasa didengar, tapi juga wajib menjaga agar dinamika demokrasi ini tetap sehat,” kata Helmi.
Ia mengakhiri pernyataannya dengan harapan agar ruang digital tetap menjadi medium pertukaran gagasan, bukan ladang konflik. “Kritik yang membangun jauh lebih berdaya guna daripada cercaan tanpa dasar,” tutupnya. (adv)