BRAVO13.ID, Tenggarong - Pagi masih lengang di dapur produksi milik BUMDes Rapak Lanur ketika Arianto, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kukar, menyinggung soal peluang ekonomi baru di hadapan para kepala desa. Topiknya bukan soal proyek infrastruktur atau bantuan langsung tunai—melainkan tentang makanan bergizi yang bisa mengubah wajah ekonomi desa.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang saat ini tengah digagas pemerintah pusat, dianggap Pemkab Kutai Kartanegara (Kukar) sebagai lebih dari sekadar intervensi gizi. Di tangan DPMD Kukar, program ini dikembangkan sebagai instrumen strategis pemberdayaan ekonomi lokal melalui penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
"Kami melihat MBG sebagai peluang. Ini bukan hanya soal makan gratis, tapi soal bagaimana desa bisa jadi produsen pangan," ujar Arianto belum lama ini. Ia menegaskan bahwa BUMDes dapat memainkan peran penting dalam menyuplai kebutuhan logistik dapur MBG.
Langkah awal telah dilakukan. Dua BUMDes—Rapak Lanur dan Bendang Raya—telah menyatakan kesiapan mereka untuk menjadi pemasok bahan pangan. Keduanya dipilih berdasarkan kesiapan infrastruktur dan kapasitas produksi yang sudah terbukti.
Sebagai bentuk dukungan konkret, DPMD Kukar juga menyiapkan skema penyertaan modal melalui Dana Desa. "Kita memang masih menunggu petunjuk teknis resmi dari pusat, tapi secara prinsip 20 persen Dana Desa bisa dialokasikan untuk penguatan BUMDes sektor pangan," jelas Arianto.
Pusat layanan MBG sendiri akan dipusatkan di Tenggarong. Dari sini, logistik makanan akan disalurkan ke berbagai titik sasaran. BUMDes yang terlibat nantinya diharapkan tidak hanya menjadi mitra penyedia, tetapi juga motor penggerak ekosistem pangan desa.
Lebih dari sekadar program sosial, MBG di Kukar dirancang untuk menciptakan dampak jangka panjang—membangun ketahanan pangan dari bawah, memperkuat lembaga ekonomi desa, serta mengurangi ketergantungan pasokan dari luar daerah.
Jika berhasil, skema ini bisa menjadi model integratif antara program kesejahteraan sosial dan pemberdayaan ekonomi desa berbasis produksi lokal. “Ini yang sedang kami kawal,” tandas Arianto. (adv)