BRAVO13.ID, Samarinda – Pemerintah pusat tengah menggeber program pembentukan Koperasi Merah Putih dengan tenggat ketat: akhir Mei untuk musyawarah desa, akhir Juni untuk pembentukan koperasi. Namun di sisi lain, aparatur desa di daerah seperti Kutai Kartanegara justru masih berkutat pada pertanyaan mendasar: harus mulai dari mana?
Ketimpangan antara tekanan vertikal dan kesiapan teknis ini menjadi sorotan dalam rapat koordinasi percepatan pembentukan koperasi di Samarinda, Jumat (16/5/2025). Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Kaltim, Heni Purwaningsih, menegaskan bahwa program ini bukan sekadar arahan biasa. Bahkan pencairan Dana Desa tahap kedua kini mulai dikaitkan dengan progres pembentukan koperasi.
“Informasi dari Kementerian Keuangan menyebut, Dana Desa tahap dua bisa ditunda bagi desa yang belum membentuk Koperasi Merah Putih,” kata Heni.
Pernyataan itu sontak menambah tekanan di lapangan. Meski secara regulasi pemerintah pusat telah membentuk Satgas hingga tingkat desa dan memantau progres secara daring, kenyataannya tak semua unit pelaksana memahami teknis pelaksanaan.
Di Kutai Kartanegara, baru tiga desa yang berhasil membentuk koperasi. Musdesus baru terlaksana di 21 desa dan kelurahan. Di sisi lain, Kalimantan Timur memiliki ratusan desa yang menjadi target program ini.
Asmi Riyandi Elvandar, Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi Desa DPMD Kukar, menyebut salah satu akar persoalan adalah minimnya penjabaran teknis atas kebijakan pusat. “Surat kementerian tidak menjelaskan pelimpahan kewenangan dengan jelas. Apakah ini ranah pusat, provinsi, atau kabupaten?” ujarnya.
Asmi menyoroti bahwa program ini didesain dengan kerangka birokrasi vertikal, tetapi diserahkan pelaksanaannya ke desa tanpa panduan rinci. Masalah seperti rekening yang sah untuk pembiayaan akta notaris koperasi belum dijawab tuntas. “Kalau desa salah pakai rekening, nanti saat audit mereka yang kena,” tegasnya.
Situasi ini membuat beberapa desa memilih menunda pelaksanaan sambil menunggu arahan yang lebih pasti. Di tengah keterbatasan itu, provinsi disebut sedang merancang bantuan legalisasi koperasi, termasuk untuk menanggung biaya akta notaris sebesar Rp2,5 juta per koperasi. Namun detail rekening dan mekanismenya masih dibahas.
Di titik ini, kebijakan pusat yang ambisius berbenturan dengan kapasitas implementasi daerah. Kepala desa berada di ujung tekanan, sementara pemerintah kabupaten hanya bisa meminta kejelasan dari tingkat di atasnya. “Kami butuh edaran teknis agar pelaksanaan di lapangan tidak menabrak aturan,” ujar Asmi.
Sementara itu, dari sisi hubungan kelembagaan, masih muncul keraguan soal tumpang tindih antara koperasi dan BUMDes. Heni menegaskan bahwa keduanya bukan rival, tapi pelengkap. Namun tanpa panduan struktural yang rinci, pemahaman ini sulit ditransfer ke masyarakat.
Ketika tekanan waktu bertambah dan konsekuensi finansial menghantui, pertanyaan mendasarnya tetap sama: apakah desa sedang menjalankan program pemberdayaan, atau sekadar mengejar deadline kebijakan? (adv)