Bravo 13
Hasto Kristiyanto Sebut Sidangnya Pengadilan Politik, Tim Hukum Soroti Inkonsistensi JaksaSidang Hasto Kristiyanto kembali memanas, bukan hanya di ruang pengadilan, tapi juga lewat narasi perlawanan dan aksi di luar persidangan.
Oleh Handoko2025-04-25 06:37:00
Hasto Kristiyanto Sebut Sidangnya Pengadilan Politik, Tim Hukum Soroti Inkonsistensi Jaksa
Pengadilan Hasto Kristiyanto Ricuh, Polisi dan Satgas PDIP Saling Dorong.

BRAVO13.ID, Samarinda - Kamis (24/4/2025), Pengadilan Tipikor Jakarta kembali menjadi panggung bagi drama politik dan hukum yang melibatkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Namun sidang kali ini bukan hanya berisi sanggahan dan pemeriksaan saksi, tetapi juga desakan, teriakan, dan tudingan keras tentang bagaimana hukum bekerja—atau tidak bekerja.

Dalam sebuah surat yang dibacakan oleh juru bicara PDIP, Guntur Romli, Hasto menyebut perkara yang menjerat dirinya sebagai bentuk pengadilan politik yang dipaksakan. Ia menilai, dakwaan terhadap dirinya bukan dilandasi fakta hukum, melainkan interpretasi yang sarat muatan politik.

“Persidangan ini adalah pengadilan politik,” tulis Hasto dalam suratnya. Ia mengacu pada putusan pengadilan tahun 2020 dalam kasus suap terhadap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, yang menyatakan uang yang diterima berasal dari Harun Masiku. Tak ada satu pun bukti yang mengaitkan dirinya dalam aliran dana tersebut.

“Keputusan itu sudah inkrah dan jelas menyebutkan uang berasal dari Harun Masiku. Maka tidak ada dasar hukum yang menyatakan saya terlibat,” lanjutnya. Baginya, sidang ini justru menjadi ujian bagi independensi dan wibawa lembaga peradilan. “Inilah momentum untuk menunjukkan lembaga peradilan yang berwibawa, mandiri, dan menjadi rumah bagi kebenaran.”

Namun, ketegangan tidak hanya terjadi di dalam ruang sidang. Guntur Romli menyoroti kemunculan sekelompok orang yang ia sebut sebagai provokator. Mereka mengenakan kaos putih bertuliskan “SaveKPK” dan berusaha masuk ke ruang sidang ketika proses sudah berlangsung. Pihak keamanan pengadilan dan Satgas PDIP menahan mereka, hingga akhirnya kelompok itu hanya bisa duduk di lobi.

Situasi memanas saat jeda sidang pukul 12.15 WIB. Salah satu dari mereka mendekati kerumunan konferensi pers Hasto sambil berteriak-teriak. Aksi itu dibalas dengan tindakan pengamanan dari Satgas PDIP. Ketegangan meningkat hingga aparat kepolisian turun tangan, terjadi aksi saling dorong, bahkan sempat muncul upaya penangkapan terhadap anggota Satgas. Guntur membantah adanya bentrok, menyebut hanya terjadi dorong-dorongan yang akhirnya diredam lewat dialog.

Sementara itu, dari sisi hukum, pengacara Hasto, Febri Diansyah, menyebut ada inkonsistensi serius dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Salah satu poin paling krusial, menurutnya, adalah perbedaan jumlah uang yang disebut diberikan kepada Wahyu Setiawan. Jaksa menyatakan uang diberikan dua kali senilai Rp600 juta, tetapi saksi menyebut hanya ada satu kali pemberian sebesar Rp200 juta pada 17 Desember 2019.

“Yang memberikan saat itu adalah Tio bersama Saeful Bahri, dan uangnya berasal dari Harun Masiku,” tegas Febri. Ia menyebut tuduhan pemberian Rp600 juta tidak terbukti. Bahkan, amplop berisi uang senilai 38.300 dolar Singapura disebut tak pernah berpindah tangan dan hendak dikembalikan oleh Tio kepada Saeful.

Tak hanya itu, Febri juga menyoroti campur aduk antara fakta dan asumsi dalam dakwaan. Salah satu contohnya adalah kesaksian Wahyu Setiawan yang menyebut mendengar percakapan tentang sumber dana di ruang rokok, namun saksi lain menyebut kejadian itu tidak pernah terjadi karena para pihak berada di musala saat itu.

Dengan segala dinamika yang berlangsung di ruang sidang dan sekitarnya, kasus Hasto Kristiyanto kini tidak hanya menjadi sorotan hukum, tetapi juga menjadi panggung tarik-menarik narasi antara keadilan dan kekuasaan, antara prosedur hukum dan tudingan politisasi. (*)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait
Tag Terkait