BRAVO13.ID, Samarinda - Di suatu sore musim kemarau 2024, Rina (34), seorang ibu rumah tangga di Samarinda, membuka keran di dapurnya. Air yang keluar berbau anyir dan berwarna kecokelatan. “Sudah disaring katanya, tapi baunya tetap menyengat,” keluhnya. Anak sulungnya bahkan mengalami ruam setelah mandi. Di hulu, anak-anak Mahakam Ulu berenang di sungai yang keruh dan penuh lumpur, diapit ponton batu bara yang hilir-mudik tanpa henti.
Air Sungai Mahakam tak lagi membawa kesegaran, tapi kecemasan.
Sungai Mahakam—yang sejak dahulu disebut Tirta Amerta atau air kehidupan—kini memasuki titik nadir. Di Kalimantan Timur, Mahakam bukan sekadar bentang alam. Ia adalah urat nadi yang menyuplai air, makanan, transportasi, hingga kebudayaan dari Mahakam Ulu, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, hingga Samarinda.
Sungai ini adalah rumah bagi 147 jenis ikan air tawar, 298 jenis burung termasuk lima endemik, dan satu makhluk yang kini terancam punah: Pesut Mahakam. Mamalia air tawar yang dulu dihormati seperti makhluk mitologis ini kini makin sulit ditemukan. Habitatnya menyempit, air tempatnya hidup tercemar.
Sejak tahun 1970-an, Mahakam dibanjiri kayu gelondongan hasil penebangan liar hutan hujan tropis. Era itu dikenal sebagai Banjir Kap. Kini, kejayaan kayu telah digantikan oleh ponton batu bara. Dan yang tersisa? Lumpur, limbah, dan krisis ekologis.
Lumbung-lumbung air Mahakam, danau kaskade seperti Semayang, Melintang, dan Jempang, makin mendangkal akibat sedimentasi. Deforestasi, tambang batu bara, dan ekspansi perkebunan sawit mengubah hutan menjadi lahan terbuka yang menyuplai lumpur ke sungai. Air Mahakam tak hanya keruh, tapi tercemar limbah industri, pestisida, dan limbah rumah tangga.
Akibatnya, Mahakam kini tak lagi memenuhi tiga syarat air bersih: kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Padahal, inilah sumber air baku utama bagi jutaan warga Kalimantan Timur.
XR Bunga Terung, gerakan lingkungan yang konsisten menyuarakan keadilan ekologis di Kalimantan Timur, memperingatkan bahwa krisis air Mahakam bukan hanya isu lingkungan, tapi isu kehidupan. "Air bersih adalah fondasi peradaban," tegas mereka. "Tak ada gunanya beasiswa sampai doktor, jika air sehari-hari justru merusak tubuh dan pikiran."
Memperingati Hari Air Sedunia 2025, XR Bunga Terung menyuarakan seruan yang lugas dan menyentuh. Mereka menegaskan pentingnya mengembalikan Sungai Mahakam sebagai ruang hidup bersama yang tidak boleh dimiliki atau dikendalikan oleh korporasi maupun segelintir elite. Pemulihan dan konservasi menyeluruh terhadap ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam menjadi hal mendesak, termasuk penghentian deforestasi serta alih fungsi lahan yang tidak selaras dengan keberlanjutan sumber air. XR Bunga Terung juga menolak segala bentuk privatisasi atas Sungai Mahakam, karena air bersih adalah hak asasi manusia dan bukan komoditas ekonomi. Mereka mengajak seluruh pihak untuk merawat Mahakam sebagai Anugerah Kehidupan, bukan sebagai ladang eksploitasi sesaat demi keuntungan jangka pendek.
Bumi Etam, tanah yang diwarisi, sedang sakit. Sungai Mahakam telah memberi terlalu banyak—air, makanan, identitas. Kini ia merintih, minta untuk dipulihkan.
Jika kita terus menebang hutan, menyedot isi bumi, dan mencemari airnya, bukan hanya Mahakam yang mati. Tapi juga masa depan kita sendiri.
Sebab Mahakam bukan sekadar sungai. Ia adalah cermin dari cara kita mencintai hidup. (*)