BRAVO13.ID, Jakarta - Setelah lima tahun setia mengaspal, menerjang panas dan hujan, seorang mitra pengemudi Gojek menerima notifikasi yang mengecewakan: bonus hari raya (BHR) sebesar Rp 50 ribu. Angka itu bahkan tak cukup untuk mengisi penuh bensin di kendaraan roda dua standar, apalagi merayakan Lebaran bersama keluarga.
Kekecewaan ini bukan milik satu orang saja. Ribuan driver ojek online mengungkapkan protes serupa, mempertanyakan keadilan di balik skema pemberian BHR tahun ini yang dinilai tidak manusiawi. Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, menyuarakan keresahan para mitra, menyebut praktik pembagian BHR sebagai “akal-akalan” yang mengecewakan dan mencoreng harapan Presiden RI.
“Banyak dari rekan-rekan ojol yang sudah menjadi ojol lebih dari 5 tahun, namun tetap saja hanya terima Rp 50 ribu,” kata Igun, mengacu pada pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang sebelumnya menjanjikan perhatian lebih terhadap kesejahteraan driver ojol. “Kami mengecam aplikator yang membangkang Menaker RI dan membohongi ojol se-Indonesia,” lanjutnya.
Menanggapi gelombang kekecewaan ini, pihak Gojek melalui Chief of Public Policy & Government Relations Goto, Ade Mulya, menjelaskan bahwa BHR diberikan dengan skema lima kategori berdasarkan indikator kinerja seperti tingkat keaktifan, produktivitas, dan konsistensi mitra.
“Nominal setiap kategori disesuaikan dengan kontribusi mitra terhadap ekosistem, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan perusahaan,” ujar Ade, dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (26/3).
Lima kategori tersebut meliputi: Mitra Juara Utama, Mitra Juara, Mitra Unggulan, Mitra Andalan, dan Mitra Harapan. Bagi mereka yang masuk kategori tertinggi, Mitra Juara Utama, BHR yang diberikan mencapai Rp 900 ribu. Syaratnya cukup ketat: keaktifan minimal 25 hari per bulan dan tingkat penerimaan order minimal 90 persen. Namun, bagi mitra yang tak memenuhi standar itu, seperti kategori Mitra Harapan, nominalnya jauh lebih kecil—seperti yang dialami banyak pengemudi, hanya Rp 50 ribu.
Menurut Ade, skema ini merupakan bentuk penyesuaian terhadap arahan Kementerian Ketenagakerjaan, serta wujud itikad baik perusahaan agar lebih banyak mitra tetap menerima BHR meski kontribusinya berbeda-beda.
Namun, bagi para pengemudi yang sehari-hari bertaruh nyawa di jalan raya demi layanan terbaik kepada pelanggan, angka sekecil itu terasa seperti pengabaian. “Kami bukan hanya angka dalam sistem,” tulis seorang pengemudi dalam unggahan media sosial yang viral, “kami manusia yang juga ingin merayakan Lebaran dengan layak.”
Ketika apresiasi atas kerja keras hanya diterjemahkan dalam nominal yang tak sepadan, kepercayaan pun mulai terkikis. Di tengah pesatnya laju ekonomi digital, suara para pengemudi seharusnya bukan sekadar gema—melainkan panggilan untuk mendengar dan menghargai mereka yang menjadi tulang punggung layanan. (*)