BRAVO13.ID, Jakarta - Stadion Utama Gelora Bung Karno akan menjadi saksi ujian besar bagi proyek ambisius Timnas Indonesia. Selasa malam, 25 Maret 2025, pukul 20.45 WIB, skuad Garuda kembali turun ke lapangan dengan empat wajah anyar berdarah Indonesia—tetapi besar dan tumbuh di Eropa: Emil Audero, Ole Romeny, Dean James, dan Joey Pelupessy. Keempatnya bukan hanya memperkuat komposisi, tapi juga memantik perdebatan lama: mengapa negeri dengan lebih dari 270 juta jiwa justru bertumpu pada diaspora untuk mimpi Piala Dunia?
Laga kontra Bahrain dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia menjadi panggung pembuktian. Apakah naturalisasi adalah solusi jangka pendek yang manjur, atau tanda belum optimalnya pembinaan dalam negeri?
Pelatih Bahrain, Dragan Talajic, tampaknya tak hanya sibuk mengamati pola permainan. Ia juga menyadari betapa dinamisnya komposisi Garuda. Dalam konferensi pers jelang pertandingan, Talajic mengungkapkan kekagumannya—serta kekhawatiran tersirat—atas strategi Indonesia.
"Saya menonton terlalu banyak pertandingan Indonesia. Tapi setiap kali menonton, selalu ada dua pemain baru—bukan dari Indonesia, tapi datang dari Belanda atau Inggris,” ujarnya.
Ia mengingat debut Mees Hilgers dan Eliano Reijnders pada pertemuan pertama 10 Oktober 2024 di Riffa, Bahrain. Lalu Kevin Diks menyusul di jeda November. Kini, giliran Romeny dan Audero memulai kisah mereka di Jakarta. Perubahan yang terus-menerus ini membuat Talajic tidak bisa menyiapkan strategi dengan cara biasa.
“Indonesia punya 300 juta penduduk, tapi Anda tetap membawa pemain dari luar negeri. Maksud saya, itu bagus… kami menghormati itu,” lanjut pelatih asal Kroasia tersebut.
Meski Indonesia dihajar Australia 1-5 pekan lalu, Talajic menolak menganggap hasil itu sebagai tolok ukur.
“Percayalah, saya tidak peduli dengan apa yang dimainkan Indonesia melawan Australia. Itu bukan gambaran sebenarnya dari mereka,” tegasnya. “Kami datang dengan rasa hormat penuh, tetapi juga dengan keyakinan penuh untuk memenangkan pertandingan ini.”
Bagi Bahrain, ini soal menjaga konsistensi dan meraih kemenangan. Bagi Indonesia, ini tentang menjahit identitas baru dari banyak potongan kecil diaspora yang tersebar di luar negeri. Dan di balik semua itu, ada harapan publik: bahwa Garuda yang dibangun dari berbagai belahan dunia bisa terbang tinggi—setidaknya lebih tinggi dari sebelumnya. (*)