
BRAVO13.ID, Samarinda – Di balik meja kerja yang kini kosong dan gaji yang tak lagi mengalir, puluhan karyawan di sejumlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Samarinda tengah menata ulang hidup mereka. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menimpa mereka dalam beberapa bulan terakhir memunculkan gelombang kekhawatiran. Banyak yang menduga, kebijakan efisiensi anggaran imbas program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi biang keladinya.
Namun, Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Ismail Latisi, punya pandangan berbeda. Ia menilai terlalu prematur jika MBG langsung dijadikan kambing hitam atas rentetan PHK yang terjadi.
"Kita perlu melihat lebih jernih. Jangan buru-buru menyimpulkan bahwa ini semua gara-gara program MBG atau efisiensi anggaran pusat. Ada banyak faktor yang bisa jadi pemicunya," tegas Ismail saat ditemui pada Senin (17/3/2025).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu meminta agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi internal BUMD. Menurutnya, keputusan PHK bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba dan hanya karena satu variabel kebijakan dari pemerintah pusat. Ia menduga ada persoalan struktural lain, seperti lemahnya tata kelola, penurunan kinerja, atau bahkan salah urus dalam manajemen perusahaan daerah tersebut.
"PHK itu langkah paling akhir. Jadi kalau itu yang diambil, harus ada penjelasan komprehensif. Kita ingin tahu, apakah memang tak ada lagi cara lain yang lebih manusiawi?" ujarnya.
Ismail juga mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah, meski berniat baik seperti MBG, tidak boleh menjadi alasan pembenar jika implementasinya menimbulkan korban di daerah. Ia mengusulkan agar BUMD dan pemerintah daerah mencari alternatif lain dalam melakukan efisiensi, termasuk dengan memperbaiki sistem kerja dan menggali potensi pendapatan lain, bukan serta-merta memangkas tenaga kerja.
"Program MBG tentu tujuannya mulia. Tapi jika pelaksanaannya justru membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, tentu harus ada yang dievaluasi. Jangan sampai niat baik berubah jadi beban baru bagi masyarakat," tambahnya.
Ismail menutup pernyataannya dengan pesan kuat: bahwa efisiensi tidak boleh melulu dimaknai sebagai pemangkasan, apalagi terhadap mereka yang justru menjadi tulang punggung perusahaan.
“Kita sedang bicara tentang nasib orang-orang kecil, bukan hanya angka dalam laporan. Itu sebabnya, setiap keputusan yang menyangkut PHK harus dipertimbangkan dengan hati-hati dan rasa keadilan,” pungkasnya.
PHK mungkin hanya satu istilah teknis dalam dunia bisnis. Tapi bagi para pekerja yang terdampak, itu adalah awal dari perjuangan baru—yang sering kali jauh lebih berat daripada sebelumnya. (adv)