
BRAVO13.ID, Samarinda – Di tengah sengkarut pembebasan lahan yang belum rampung, deru alat berat tambang batu bara di Palaran justru masih menggema. Warga gelisah. Tanah yang belum dibebaskan diduga sudah digarap. Aktivitas tambang kian menjalar ke luar batas izin yang diberikan, menyulut kekhawatiran baru bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan potensi kerusakan lingkungan.
Anggota DPRD Kota Samarinda, Anhar, angkat bicara. Ia menerima laporan dari warga bahwa sejumlah perusahaan tambang diduga telah memperluas wilayah kerja tanpa izin resmi.
“Kami menerima informasi dari masyarakat terkait aktivitas pertambangan yang terjadi di kawasan yang masih dalam proses pembebasan,” ujar Anhar, Minggu (16/3/2025). “Pemerintah daerah, baik kota maupun provinsi, harus segera bertindak. Jika terbukti melanggar, kami akan mendesak agar kegiatan tersebut dihentikan.”
Menurut Anhar, izin awal yang dikantongi perusahaan hanya mencakup 3.000 hektare untuk pengembangan kawasan perumahan dan industri. Namun, fakta di lapangan diduga berbeda. Warga menyebut, aktivitas tambang telah melewati batas konsesi. Tak hanya merugikan masyarakat, kondisi ini juga mengancam proyek-proyek strategis, seperti pembangunan Pelabuhan Multipurpose yang tengah digagas di Palaran.
“Kalau dibiarkan seperti ini, pembangunan infrastruktur penting bisa terganggu. Kita rugi dua kali—lingkungan rusak, pembangunan tersendat,” tegas Anhar.
Pemerintah Kota Samarinda sebenarnya telah menetapkan target penghentian aktivitas pertambangan pada 2026. Anhar mendesak agar target itu benar-benar ditegakkan dan tidak hanya jadi wacana. Ia juga meminta agar tidak ada lagi perpanjangan izin bagi perusahaan yang telah beroperasi, apalagi jika terbukti melakukan pelanggaran.
Desakan juga disampaikan kepada pemerintah pusat agar meninjau ulang seluruh izin pertambangan yang masih aktif di kawasan tersebut. Evaluasi ketat diperlukan untuk mencegah pelanggaran berulang dan memastikan bahwa pelaku usaha benar-benar bertanggung jawab.
Tak kalah penting, kata Anhar, adalah memastikan hak-hak warga yang terdampak terpenuhi. Ia mendorong agar Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan inspektur tambang turun langsung ke lapangan. Pemerintah harus hadir untuk mengawasi reklamasi lahan dan menjamin warga tak menjadi korban dari ketidakpatuhan korporasi.
“Pemerintah harus tegas dan memastikan bahwa kegiatan tambang berjalan sesuai aturan. Pemulihan lingkungan dan perlindungan hak warga harus menjadi prioritas utama,” tutupnya.
Di Palaran, tanah masih jadi pertaruhan antara keuntungan jangka pendek dan masa depan yang layak. Suara warga yang menggema lewat Anhar, kini tinggal menunggu: akankah pemerintah memilih diam, atau berdiri di sisi rakyat? (adv)