
BRAVO13.ID, Samarinda – Di tengah tekanan kebutuhan lahan untuk perumahan dan ruang usaha yang terus meningkat di Samarinda, ironi besar justru mengemuka: ratusan bidang tanah kavling berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) dibiarkan terbengkalai begitu saja oleh pemiliknya. Tanah-tanah yang seharusnya produktif itu, kini berubah menjadi lahan tidur yang menyisakan tanda tanya besar.
Wakil Ketua DPRD Samarinda, Ahmad Vananzda, mengungkapkan keprihatinannya terhadap fenomena ini. Ia menilai, minimnya pemanfaatan tanah kavling oleh pemilik sahnya bukan hanya menunjukkan kelalaian, tetapi juga berpotensi merugikan tata kelola kota dan masyarakat secara luas.
“Banyak kavling yang sudah berstatus HGB tapi tidak dibangun. Ini melanggar prinsip pemanfaatan lahan dan bisa menghambat pembangunan kota,” kata Vananzda, Minggu (16/3/2025).
Ia menjelaskan, sesuai regulasi yang berlaku, pemilik tanah berstatus HGB wajib melakukan pembangunan dalam jangka waktu tertentu. Apabila kewajiban itu tidak dipenuhi, proses alih status menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) bisa saja dilakukan, namun dengan syarat yang ketat.
“Pergeseran status dari HGB ke SHM tidak bisa sembarangan. Ada batas waktu dan syarat-syarat yang harus dipenuhi,” tegasnya.
Masalah serupa juga mencuat di kawasan Citra Niaga—pusat ekonomi lama yang kini banyak lahannya berada dalam status HGB dan dikelola pemerintah. Sayangnya, sejumlah penyewa lahan di sana menunggak pembayaran dalam jangka waktu panjang, sehingga pemerintah terpaksa mengambil alih pengelolaan.
“Kami minta sebelum pengambilalihan dilakukan, beri waktu dan kesempatan kepada pemilik usaha untuk membongkar bangunan dan menyelamatkan barang-barang mereka. Apalagi bagi mereka yang sedang dalam kondisi ekonomi sulit,” ujarnya.
Vananzda menilai, faktor ekonomi memang menjadi penyebab utama para pemilik tanah enggan membangun. Rasa ragu terhadap kelayakan investasi dan ketidakpastian pasar kerap menjadi alasan utama.
“Kalau merasa tak ada keuntungan yang sepadan, wajar kalau mereka memilih untuk menunda atau bahkan melepas hak atas tanah itu,” tuturnya.
Namun, menurutnya, kota ini tak bisa terus-menerus membiarkan tanah produktif terabaikan. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pemilik lahan, termasuk investor, untuk mencari jalan keluar yang saling menguntungkan.
“Ini bukan soal menyalahkan satu pihak. Kita harus duduk bersama, gali akar masalahnya, dan cari solusinya. Samarinda butuh kepastian ruang, bukan tumpukan lahan kosong yang tak memberi nilai tambah,” pungkasnya.
Dengan laju urbanisasi yang tak bisa dibendung, kota ini membutuhkan strategi pemanfaatan ruang yang adil dan berkelanjutan. Karena setiap jengkal tanah yang dibiarkan tak tergarap, sejatinya adalah peluang yang hilang bagi masa depan kota. (adv)