Bravo 13
Akses Sulit, Penyuluh Pertanian Samarinda Kesulitan Dampingi Petani Pinggiran KotaPetani di pinggiran Samarinda makin sulit berkembang. Penyuluh pertanian terkendala akses, DPRD ingatkan ancaman ketahanan pangan.
Oleh Handoko2025-03-11 00:37:00
Akses Sulit, Penyuluh Pertanian Samarinda Kesulitan Dampingi Petani Pinggiran Kota
Seorang pengunjung mengamati hamparan sawah yang masih aktif dikelola petani di pinggiran Kota Samarinda, Kalimantan Timur. (Kontributor Bravo13.id)

BRAVO13.ID, Samarinda - Setiap pagi, para petani di Makroman dan Bentuas memulai hari dengan harapan sederhana: hasil panen mereka cukup untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan masyarakat sekitar. Namun, di balik tekad mereka mengolah tanah, tersimpan kenyataan pahit—mereka nyaris berjalan sendiri. Penyuluh pertanian yang seharusnya hadir memberi pendampingan dan pengetahuan terkini, seringkali tak mampu menjangkau mereka karena akses jalan yang buruk.

Samarinda, kota yang kerap digambarkan sebagai pusat jasa dan perdagangan Kalimantan Timur, ternyata menyimpan kerentanan di sektor pangan. Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur dan permukiman, lahan pertanian justru semakin terpinggirkan. Ini menjadi kekhawatiran serius bagi Wakil Ketua Komisi II DPRD Samarinda, Andi Saharuddin.

“Mobilitas penyuluh sangat krusial, terutama karena area pertanian kita kebanyakan ada di wilayah pinggiran. Kalau penyuluhnya saja kesulitan masuk, bagaimana petani bisa berkembang?” ujar Andi saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (11/3/2025).

Meski dominan dengan sektor jasa, Samarinda masih memiliki kantong-kantong pertanian aktif di kawasan seperti Lempake, Makroman, dan Bentuas. Sayangnya, perhatian terhadap sektor ini jauh dari memadai. Minimnya fasilitas transportasi membuat penyuluh kesulitan menjangkau petani secara rutin. Padahal, penyuluh adalah garda terdepan dalam menyampaikan inovasi pertanian, edukasi teknis, hingga solusi atas persoalan hama dan cuaca ekstrem.

Andi menegaskan, lemahnya dukungan terhadap penyuluh berdampak langsung pada ketahanan pangan kota. Tanpa pendampingan berkelanjutan, petani tidak dapat meningkatkan produktivitas maupun menghadapi tantangan modernisasi pertanian.

“Ketahanan pangan itu bukan hanya soal ketersediaan beras. Ini soal siapa yang memproduksinya, dan bagaimana mereka diberdayakan. Kalau petani kita dibiarkan berjalan sendiri, itu artinya kita melemahkan pertahanan pangan dari dalam,” tegasnya.

Tak hanya soal aksesibilitas, Andi juga menyoroti ancaman alih fungsi lahan pertanian. Proyek pembangunan yang menggeliat nyaris tak menyisakan ruang bagi lahan produktif untuk bertahan. Jika tren ini terus berlanjut, kata Andi, Samarinda akan sepenuhnya bergantung pada pasokan dari luar daerah.

“Kalau semua lahan kita ubah jadi beton, lalu kita harapkan beras dari daerah lain, bagaimana kalau distribusi terganggu? Kita tidak punya cadangan, tidak punya kontrol,” lanjutnya.

Ia pun mendorong Pemerintah Kota Samarinda untuk bersikap tegas dan strategis dalam menjaga sisa-sisa lahan pertanian yang ada. Investasi terhadap infrastruktur pertanian, peningkatan akses penyuluh, serta perlindungan terhadap lahan produktif, menurutnya, adalah bentuk keberpihakan nyata pada ketahanan pangan.

“Kalau pemerintah memang peduli, buktikan dengan kebijakan konkret. Jangan biarkan petani berjuang sendiri sementara kita sibuk membangun kota tanpa fondasi pangan yang kokoh,” pungkasnya.

Di tengah pembangunan yang terus membesar, Samarinda dihadapkan pada pilihan mendasar: membiarkan pertaniannya memudar, atau bertindak sekarang untuk menyelamatkan sektor yang menjadi akar dari ketahanan hidup warganya sendiri. (adv)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait