Bravo 13
Menjaga Pare Maring, Masyarakat Dayak Mahulu Lawan Pelupaan TradisiDi balai adat yang dipenuhi doa dan sesajen, warga Ujoh Bilang berkumpul. Pare Maring bukan sekadar ritual panen—ini perlawanan terhadap lupa.
Oleh Handoko2025-02-21 19:22:00
Menjaga Pare Maring, Masyarakat Dayak Mahulu Lawan Pelupaan Tradisi
Sekda Mahakam Ulu, Dr. Stephanus Madang, menghadiri ritual adat Pare Maring di Balai Adat Kampung Ujoh Bilang, Minggu (16/2/2025). (Foto: Pemkab Mahulu)

BRAVO13.ID, Ujoh Bilang - Langit mendung menggantung di atas Kampung Ujoh Bilang, Mahakam Ulu, seakan menjadi pertanda bahwa alam tengah bersiap menyaksikan sebuah perayaan sakral. Di balai adat kampung, ratusan warga berkumpul dalam balutan busana tradisional, membawa sesajen dan hasil panen pertama. Suasana khidmat menyelimuti mereka, karena hari itu, Minggu (16/2/2025), Pare Maring kembali digelar—sebuah ritual adat yang telah diwariskan turun-temurun sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah bumi.

Di tengah gempuran modernisasi yang mengikis banyak tradisi, masyarakat Dayak di Mahulu tetap teguh mempertahankan Pare Maring. Bukan sekadar seremoni, ritual ini menyimpan makna mendalam: menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. “Tradisi ini merupakan wujud syukur serta simbol kebersamaan dan gotong royong yang telah menjadi nilai luhur masyarakat Dayak di Mahulu,” ujar Sekretaris Daerah (Sekda) Mahulu, Dr. Stephanus Madang, saat membacakan sambutan Bupati Mahulu, Dr. Bonifasius Belawan Geh.

Pare Maring diyakini sebagai momen sakral yang menghubungkan generasi. Para tetua adat bercerita tentang bagaimana nenek moyang mempersembahkan hasil panen pertama kepada roh penjaga alam sebagai bentuk penghormatan. Dahulu, ketika alam masih menjadi tumpuan utama kehidupan, ritual ini adalah pernyataan komitmen untuk merawat tanah dan menghormati keseimbangan ekosistem. Kini, dengan komersialisasi pertanian dan pergeseran nilai budaya, mempertahankan tradisi ini bukanlah perkara mudah.

Perubahan zaman membawa tantangan tersendiri. Generasi muda yang mulai akrab dengan gaya hidup serba instan perlahan menjauh dari akar budaya mereka. Teknologi dan arus globalisasi menawarkan kemudahan, tetapi di sisi lain, mengancam warisan yang telah dijaga selama berabad-abad. “Kita harus jaga dan lestarikan agar tidak hilang ditelan zaman,” tegas Sekda, mengingatkan pentingnya mempertahankan identitas budaya di tengah arus perubahan.

Namun, masyarakat Kampung Ujoh Bilang tak ingin menyerah begitu saja. Dengan penuh kesadaran, mereka terus menghidupkan Pare Maring sebagai pengingat bahwa keberkahan harus disyukuri, bukan sekadar dinikmati. Ritual ini bukan hanya tentang panen, tetapi juga tentang merawat jati diri, menjaga hubungan dengan leluhur, dan memastikan bahwa anak cucu mereka kelak masih bisa menyaksikan dan memahami akar budaya yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Ketika sesajen diletakkan dan doa-doa dinaikkan, Pare Maring menjadi lebih dari sekadar tradisi—ia adalah simbol keteguhan hati, sebuah perlawanan terhadap lupa. Bukan sekadar ritual, tetapi sebuah pesan yang menembus waktu: bahwa selama masih ada yang mengingat dan merayakan, warisan leluhur tak akan pernah benar-benar hilang. (adv)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait