BRAVO13.ID, Jakarta - Saat pandemi Covid-19 melumpuhkan ekonomi dan mengancam kehidupan jutaan rakyat Indonesia, skandal korupsi besar justru terjadi di tubuh PT Pertamina. Kejaksaan Agung mengungkap bahwa korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang perusahaan pelat merah itu telah merugikan negara hingga Rp193,7 triliun—jumlah yang setara dengan anggaran pendidikan nasional selama satu tahun.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan bahwa peluang penerapan hukuman mati terhadap para tersangka dalam kasus ini terbuka lebar. Ia menekankan bahwa korupsi yang terjadi di tengah situasi darurat, seperti pandemi, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana berat yang layak dijatuhi hukuman maksimal.
"Apakah ada hal-hal yang memberatkan? Ya, karena dilakukan dalam situasi Covid-19. Itu jelas memberatkan. Ancaman hukumannya tentu lebih berat," ujar Burhanuddin dalam konferensi pers, Kamis (6/3).
Namun, ia menambahkan bahwa keputusan akhir mengenai tuntutan akan bergantung pada hasil penyelidikan yang masih berjalan. "Bahkan dalam kondisi demikian, bisa-bisa hukuman mati dijatuhkan. Tapi kita akan lihat dulu bagaimana hasil penyelidikan ini," imbuhnya.
Sejauh ini, Kejagung telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka, yang terdiri dari enam pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satunya adalah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, yang diduga memiliki peran sentral dalam praktik korupsi ini.
Kerugian yang ditimbulkan begitu masif. Dari total Rp193,7 triliun, rincian kerugian mencakup ekspor minyak mentah dalam negeri sebesar Rp35 triliun, impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun, dan impor BBM melalui broker senilai Rp9 triliun. Tak hanya itu, pemberian kompensasi pada 2023 disebut-sebut merugikan negara Rp126 triliun, sementara subsidi BBM pada tahun yang sama mencapai kerugian Rp21 triliun.
Di tengah sorotan tajam publik terhadap kasus ini, PT Pertamina (Persero) berupaya menenangkan kekhawatiran masyarakat mengenai kualitas BBM yang beredar. Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, mengakui bahwa kasus ini memunculkan ketidakpercayaan publik, terbukti dari banyaknya pertanyaan yang ia terima langsung melalui SMS. Namun, ia memastikan bahwa produk yang tersedia di SPBU Pertamina tetap sesuai dengan standar yang berlaku.
"Masyarakat tidak perlu khawatir, tidak perlu cemas. Produk yang berada di SPBU Pertamina telah sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditetapkan," ujar Simon dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta.
Kasus ini menjadi pengingat betapa korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengkhianati kepercayaan publik. Saat rakyat berjuang bertahan hidup di tengah pandemi, segelintir elite justru menumpuk kekayaan dengan merampas hak mereka. Kini, publik menanti langkah tegas pemerintah: apakah hukuman maksimal benar-benar akan ditegakkan, ataukah kasus ini hanya akan menjadi babak baru dalam deretan panjang impunitas bagi koruptor? (*)