BRAVO13.ID, Jakarta - Hak tersangka kembali menjadi perdebatan dalam penegakan hukum di Indonesia. Tim hukum Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto melayangkan protes keras terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah menerima pemberitahuan mendadak bahwa berkas perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan yang menjerat klien mereka akan dilimpahkan ke jaksa penuntut umum pada Kamis (6/3). Padahal, baru sehari sebelumnya, mereka telah mengajukan tiga ahli hukum sebagai saksi meringankan.
"Kami tadi siang mendapatkan pesan WhatsApp dari bagian informasi KPK yang menyampaikan bahwa besok akan ada tahap II untuk klien kami, Mas Hasto Kristiyanto," ujar pengacara Hasto, Ronny Talapessy, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/3) petang.
Langkah KPK ini dinilai mencederai prinsip due process of law. Tim hukum Hasto menilai keputusan tersebut mengabaikan hak tersangka untuk menghadirkan saksi a de charge sesuai Pasal 65 KUHAP.
"Kami kemarin sudah mengajukan permohonan agar saksi ahli yang kami ajukan dapat diperiksa. Kami menghadirkan ahli sesuai dengan aturan hukum, tetapi KPK justru melanjutkan perkara tanpa mempertimbangkan pembelaan yang sah bagi klien kami," ujar Ronny.
Keputusan KPK yang dinilai terburu-buru ini memicu kemarahan tim hukum Hasto, yang menuduh KPK bertindak sewenang-wenang dan tidak menghormati asas keadilan.
"Kami mengajukan surat protes keras karena melihat KPK tidak memiliki komitmen terhadap KUHAP maupun Undang-Undang KPK sendiri. Penghormatan terhadap hukum yang berkeadilan dan hak asasi manusia seharusnya menjadi prinsip utama dalam penegakan hukum, bukan sekadar formalitas," tegas Ronny.
Indikasi Menghindari Praperadilan?
Ronny mencurigai langkah KPK ini dilakukan untuk menghindari proses Praperadilan yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
"Kami melihat indikasi bahwa KPK ingin mempercepat perkara ini guna menghindari Praperadilan," ujarnya.
Sebelumnya, pada Selasa (4/3), tim hukum Hasto telah mengajukan tiga ahli hukum sebagai saksi meringankan ke penyidik KPK. Mereka adalah Aditya Wiguna Sanjaya (Ahli Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Universitas Negeri Surabaya), Beniharmoni Harefa (Ahli Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta), serta Idul Rishan (Ahli Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia).
Ketiga ahli ini seharusnya menjelaskan hasil eksaminasi yang dilakukan Universitas Wahid Hasyim pada 3-4 Februari 2025. Salah satu poin utama yang ingin disampaikan adalah dugaan bahwa penyidikan KPK dalam kasus ini telah melenceng dari putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak ada keterlibatan Hasto sebagai pelaku.
Ahli hukum tata negara juga akan menerangkan bahwa tindakan Hasto sebagai Sekjen PDIP dalam mengajukan pergantian antarwaktu (PAW) ke KPU merupakan langkah yang sah berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) dan fatwa MA.
Namun, sebelum para ahli ini sempat didengar keterangannya, KPK justru mempercepat pelimpahan berkas perkara, yang menurut tim hukum Hasto, mencederai prinsip keadilan.
Kasus Hasto dan Upaya Praperadilan
Hasto Kristiyanto bersama advokat PDIP Donny Tri Istiqomah tengah menghadapi proses hukum atas dugaan suap kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait PAW anggota DPR RI periode 2019-2024, Harun Masiku, yang hingga kini masih buron. Hasto juga disebut mengurus PAW anggota DPR RI dari daerah pemilihan (Dapil) 1 Kalimantan Barat, Maria Lestari. Selain itu, ia dijerat dengan pasal perintangan penyidikan atau obstruction of justice.
Berupaya lepas dari status tersangka, Hasto mengajukan Praperadilan ke PN Jakarta Selatan, tetapi permohonannya ditolak oleh hakim tunggal Djuyamto pada Kamis (13/2). Hakim berpendapat bahwa gugatan terkait status tersangka dan perintangan penyidikan seharusnya diajukan dalam dua permohonan terpisah. Tak menyerah, Hasto kembali mengajukan dua permohonan Praperadilan pada Senin (17/2).
Namun, langkah hukum itu kini dihadapkan pada percepatan proses pelimpahan perkara oleh KPK, yang dinilai tim hukumnya sebagai indikasi untuk menutup ruang pembelaan.
"Kami akan terus memperjuangkan hak hukum klien kami. Kami percaya hukum harus ditegakkan secara adil, bukan sekadar formalitas," tegas Ronny.
Di tengah kontroversi ini, publik kini menanti apakah langkah KPK benar-benar mencerminkan penegakan hukum yang objektif atau justru mengabaikan prinsip keadilan demi kepentingan tertentu. Keputusan hukum atas perkara ini akan menjadi tolok ukur penting bagi sistem peradilan Indonesia ke depan. (*)