BRAVO13.ID, Madrid - Santiago Bernabéu bergemuruh. Rabu pagi waktu Indonesia, 5 Maret 2025, Real Madrid menaklukkan Atlético Madrid 2-1 dalam leg pertama babak 16 besar Liga Champions 2024/2025. Laga ini bukan sekadar kemenangan di atas kertas, melainkan pembuktian. Pembuktian bahwa dua pemain yang nyaris terlupakan mampu merobohkan teori Carlo Ancelotti. Brahim Díaz dan Luka Modric tak hanya berlari, mereka juga membuat perbedaan. Sebuah pengecualian dari aturan yang coba ditegakkan sang pelatih.
Brahim Díaz: Dari Pemain Cadangan Menjadi Penentu Kemenangan
Sebelum laga, banyak yang mempertanyakan apakah Brahim pantas menjadi starter dalam pertandingan sepenting ini. Namun, saat menit ke-55 tiba, semua keraguan itu sirna. Brahim memanfaatkan celah di pertahanan Atlético, menggiring bola dengan penuh percaya diri, dan menaklukkan Jan Oblak dengan penyelesaian sempurna. Gol itu bukan hanya tentang keindahan teknis, tetapi juga tentang keberanian untuk mengambil tanggung jawab.
Namun, kehebatannya tidak berhenti pada gol tersebut. Brahim adalah simbol dari etos kerja tanpa kompromi. Statistik membuktikannya: tiga kali memenangkan duel perebutan bola—terbanyak di antara pemain Real Madrid—dan enam kali melakukan pemulihan bola, hanya kalah dari Aurélien Tchouaméni yang mencatat tujuh. Sebagai gelandang serang, peran bertahannya seharusnya minimal, tetapi ia tidak hanya menyerang, ia juga bertarung. Di tengah strategi Ancelotti yang mengandalkan disiplin taktik, Brahim membuktikan bahwa dirinya tidak hanya mampu menyesuaikan diri, tetapi juga unggul dalam berbagai aspek permainan.
Enam gol dan tujuh assist musim ini menjadi bukti bahwa Brahim adalah pemain yang bisa diandalkan. Ia berlari, bertahan, dan menciptakan perbedaan—semuanya dalam satu pertandingan.
Luka Modric: Maestro Berusia 39 Tahun yang Menghidupkan Madrid
Namun, jika Brahim adalah tenaga yang menghidupkan Madrid, Luka Modric adalah otak yang mengatur semuanya. Selama 62 menit pertama, Los Blancos tampak kehilangan arah. Serangan tidak terkoordinasi, transisi lamban, dan Atlético Madrid tampak lebih siap. Kemudian, Modric masuk. Dan segalanya berubah.
Seakan mengenali pentingnya momen itu, Federico Valverde segera menyerahkan ban kapten kepada Modric. Sejak saat itu, Madrid kembali menemukan ritmenya. Atlético yang sebelumnya menguasai permainan mendadak kehilangan arah. Modric, tanpa banyak sorotan, mengendalikan tempo dengan presisi luar biasa.
Statistiknya mencerminkan peran krusialnya: 50 operan, 50 sukses. Kesempurnaan dalam distribusi bola. Ia memberikan dua umpan silang berbahaya dan hampir mencetak gol di menit akhir dengan tendangan dari luar kotak penalti. Jika bola itu masuk, stadion akan meledak dalam euforia. Tetapi bahkan tanpa gol, Modric telah menciptakan perbedaan yang nyata. Dengan ketenangan dan kecerdasannya, ia mengubah wajah permainan Madrid dalam hitungan menit.
Teori Ancelotti yang Runtuh
Sebelum laga, Ancelotti menyatakan bahwa pemain hanya bisa memilih satu di antara dua hal: berlari atau menjadi pembeda. Namun, malam itu, Brahim dan Modric membuktikan bahwa keduanya bisa berjalan beriringan. Mereka berlari tanpa henti, tetapi juga menjadi pembeda dengan cara yang tak terbantahkan.
Apakah Ancelotti salah? Atau justru ini bagian dari rencananya untuk memotivasi para pemainnya? Terlepas dari jawabannya, satu hal pasti: teori itu tidak lagi relevan. Dalam sepak bola modern, kerja keras dan bakat bukanlah dua pilihan yang terpisah—keduanya harus ada dalam satu paket.
Kemenangan 2-1 ini bukan hanya langkah maju menuju perempat final, tetapi juga pesan tegas bahwa Madrid masih memiliki pemain-pemain yang bisa mengubah arah permainan. Brahim Díaz dan Luka Modric membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar pelengkap dalam tim bertabur bintang ini. Mereka adalah pilar kemenangan yang menegaskan bahwa teori Ancelotti telah gugur di hadapan realitas permainan yang sesungguhnya. (*)