BRAVO13.ID, Jakarta - Seorang pekerja lepas di Jakarta, Andi (34), kerap mengandalkan layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Dari belanja kebutuhan pokok hingga membayar tagihan, semua ia tanggung dengan skema pembayaran tunda. Namun, ketika tagihan menumpuk dan bunga terus berjalan, Andi mulai merasakan beban finansial yang berat. Kisah seperti ini bukan hal yang asing di Indonesia, terutama ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat lonjakan signifikan dalam total utang masyarakat melalui layanan paylater perbankan yang mencapai Rp22,57 triliun per Januari 2025.
"Per Januari 2025, baki debet kredit BNPL tumbuh sebesar 46,45 persen year on year menjadi Rp22,57 triliun dengan jumlah rekening mencapai 24,44 juta," ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, dalam konferensi pers yang digelar Selasa (4/3). Angka ini menunjukkan bahwa semakin banyak masyarakat yang mengandalkan sistem paylater untuk memenuhi kebutuhan mereka, baik untuk konsumsi sehari-hari maupun gaya hidup.
Selain layanan paylater perbankan, skema pembiayaan serupa melalui perusahaan multifinance juga mengalami lonjakan yang mencolok. Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, LKM, dan LJK Lainnya (PVML) OJK, Agusman, melaporkan bahwa kredit paylater melalui perusahaan pembiayaan mencapai Rp7,12 triliun pada Desember 2024, meningkat 41,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, di balik pertumbuhan ini, terdapat risiko yang mengintai. Tingkat kredit bermasalah (Non-Performing Financing atau NPF) dalam skema ini tercatat sebesar 3,37 persen, mengindikasikan adanya nasabah yang kesulitan melunasi utang mereka.
Di sisi lain, fenomena serupa juga terlihat dalam industri fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol), yang mencatat total pembiayaan outstanding mencapai Rp78,5 triliun pada Januari 2025, naik 29,94 persen dari tahun sebelumnya. "Di industri fintech peer-to-peer lending, outstanding pembiayaan di Januari 2025 tumbuh 29,94 persen year on year, sementara pada Desember 2024, pertumbuhannya tercatat sebesar 29,14 persen," jelas Agusman. Meski demikian, OJK memastikan bahwa tingkat wanprestasi (TWP90) atau kredit macet pinjol masih stabil di angka 2,52 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan Desember 2024 yang berada di angka 2,6 persen.
Tidak hanya itu, sektor pembiayaan multifinance juga mencatatkan pertumbuhan. Per Januari 2025, piutang pembiayaan industri multifinance naik 6,04 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp504,33 triliun. Namun, rasio pembiayaan macet (NPF) di sektor ini juga mengalami kenaikan, dengan NPF gross tercatat sebesar 2,96 persen, meningkat dari 2,70 persen pada Desember 2024. Sementara itu, NPF net juga naik dari 0,75 persen menjadi 0,93 persen.
Fenomena pertumbuhan pesat layanan paylater dan pinjaman digital ini mencerminkan perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia, yang semakin mengandalkan utang sebagai solusi keuangan instan. Namun, di balik kemudahan akses kredit ini, ancaman finansial juga mengintai, terutama bagi mereka yang tidak memiliki manajemen keuangan yang baik. Jika tren ini terus meningkat tanpa diimbangi dengan literasi keuangan yang memadai, bukan tidak mungkin utang yang hari ini menjadi solusi justru berubah menjadi beban berkepanjangan di masa depan. (*)