BRAVO13.ID, Jakarta - Seorang bocah di panti asuhan Jakarta Selatan tersenyum saat menerima sekotak kue nastar dari donatur. Namun, kebahagiaan itu berubah jadi perdebatan nasional ketika seorang food vlogger terkenal, William Anderson alias Codeblu, menuding bahwa kue tersebut berjamur dan dikirim oleh toko Clairmont Patisserie (Brand CT). Tuduhan ini menyebar luas, membuat Brand CT dihujani kritik warganet. Namun, seiring dengan terkuaknya fakta, justru Codeblu yang kini menghadapi gelombang boikot akibat dugaan penyebaran informasi keliru dan pemerasan.
Tuduhan dan Gelombang Kecaman
Pada 15 November 2024, Codeblu mengunggah video ulasan yang menuduh sebuah toko roti terkenal mengirimkan kue kadaluarsa ke panti asuhan di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dalam video tersebut, ia tidak hanya menuding kualitas produk toko itu, tetapi juga menyoroti kondisi dapurnya dengan kata-kata kasar. Meskipun tidak menyebutkan nama toko secara eksplisit, publik dengan cepat mengaitkan tuduhan tersebut dengan Brand CT.
Imbasnya, toko kue tersebut langsung menghadapi serangan di media sosial. Banyak pelanggan yang mulai meragukan kualitas produk mereka, sementara warganet menuntut klarifikasi dari pihak Brand CT.
Namun, pada 17 November 2025, Brand CT akhirnya buka suara. Dalam pernyataan resminya, mereka membantah keras tuduhan Codeblu dan menyatakan bahwa produk mereka telah melalui proses Quality Control ketat. Mereka juga mengungkapkan bahwa tuduhan tersebut berasal dari laporan seorang mantan karyawan vendor maintenance yang bertindak di luar kendali manajemen. Bukti-bukti yang mereka paparkan menunjukkan bahwa kue berjamur yang disebut dalam unggahan Codeblu bukan berasal dari toko mereka.
Dugaan Pemerasan dan Klarifikasi Brand CT
Alih-alih berusaha menyelesaikan masalah secara baik-baik, Codeblu diduga meminta kompensasi sebesar Rp330-Rp600 juta kepada Brand CT agar unggahannya dihapus. Tindakan ini membuat situasi semakin panas, dengan banyak pihak menuding bahwa motif di balik ulasan tersebut bukan sekadar kritik jujur, melainkan bentuk pemerasan.
Brand CT akhirnya mengungkap fakta bahwa klaim Codeblu tidak berdasar. Mereka menyertakan bukti kuat bahwa tuduhan kue berjamur itu berasal dari manipulasi informasi. Setelah klarifikasi ini, gelombang opini publik mulai berbalik arah.
Menyadari tekanan yang semakin besar, Codeblu akhirnya mengunggah permintaan maaf terbuka. Ia mengakui kesalahannya, berjanji akan lebih berhati-hati dalam menyampaikan ulasan, serta menegaskan bahwa ia tidak akan mengulangi kesalahan serupa di masa depan.
Dampak dan Seruan Boikot
Namun, permintaan maaf tersebut tidak menghentikan amarah warganet. Gelombang boikot terhadap Codeblu dan food vlogger lain yang dianggap menyalahgunakan pengaruhnya mulai bermunculan. Warganet menilai bahwa seorang reviewer tidak seharusnya menggunakan platformnya untuk menjatuhkan usaha orang lain tanpa bukti yang valid.
Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, turut mengomentari kasus ini. Ia menegaskan bahwa diperlukan regulasi yang lebih ketat terkait konten review makanan agar tidak ada lagi bisnis yang dirugikan akibat ulasan yang tidak akurat. “Kita butuh perlindungan baik untuk konsumen maupun produsen, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan oleh informasi yang tidak benar,” ujar Mufti.
Selain itu, kasus ini juga menimbulkan diskusi luas mengenai etika food reviewer di media sosial. Banyak pihak menilai bahwa food vlogger yang tidak bertanggung jawab dapat menghancurkan reputasi bisnis dalam hitungan jam hanya demi sensasi dan engagement di media sosial.
Pelajaran dari Kontroversi Codeblu
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kebebasan berbicara di media sosial harus disertai dengan tanggung jawab. Satu ulasan negatif yang tidak didasarkan pada fakta bisa menghancurkan bisnis yang telah dibangun bertahun-tahun. Namun, di sisi lain, insiden ini juga menunjukkan bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya.
Bagi para pengulas makanan, kepercayaan publik adalah aset utama—dan sekali kepercayaan itu hilang, sulit untuk membangunnya kembali. Kini, Codeblu harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Sementara itu, bagi pemilik bisnis, kejadian ini menjadi pelajaran bahwa transparansi dan kesiapan menghadapi kritik adalah hal yang wajib dimiliki di era digital. Karena dalam dunia yang semakin terhubung, reputasi bisa berubah hanya dalam satu unggahan. (*)