BRAVO13.ID, Samarinda - Tiga tahun setelah Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina, perang masih berkecamuk tanpa tanda-tanda berakhir. Ribuan nyawa telah melayang, jutaan warga kehilangan tempat tinggal, dan kehancuran merajalela di kota-kota Ukraina. Namun, ketika dunia menanti solusi, hubungan antara Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump justru semakin memanas.
Trump, yang baru saja kembali ke Gedung Putih, secara terbuka mengecam Zelensky setelah pemimpin Ukraina itu menyatakan bahwa perdamaian dengan Rusia masih "sangat, sangat jauh." Dalam unggahannya di Truth Social, Trump menuduh Zelensky tidak benar-benar menginginkan perdamaian dan memperingatkan bahwa Amerika tidak akan bertahan dengan situasi ini lebih lama lagi.
"Ini adalah pernyataan terburuk yang bisa dibuat oleh Zelensky, dan Amerika tidak akan bertahan dengan ini lebih lama lagi," tegas Trump.
Ketegangan ini kian meningkat setelah pertemuan antara Trump dan Zelensky di Gedung Putih berakhir lebih cepat dari yang dijadwalkan. Keduanya dilaporkan berselisih mengenai apakah Presiden Rusia Vladimir Putin bisa dipercaya dalam mencapai kesepakatan damai. Situasi ini memberikan sinyal kuat bahwa Washington, di bawah kepemimpinan Trump, mulai kehilangan kesabaran terhadap Kyiv.
Dukungan AS untuk Ukraina Mulai Pudar?
Setelah pertemuan yang tegang dengan Trump, Zelensky segera berangkat ke Eropa untuk mencari dukungan dari para pemimpin Prancis, Jerman, Inggris, dan Kanada. Namun, ancaman berkurangnya dukungan AS menciptakan kekhawatiran di antara sekutu-sekutu Ukraina. Trump, yang selama ini skeptis terhadap bantuan luar negeri, kembali menekan Eropa agar mengambil peran lebih besar dalam mendukung Kyiv.
"Ini yang selalu saya katakan, orang ini (Zelensky) tidak ingin ada perdamaian selama dia masih didukung oleh Amerika. Dan Eropa, dalam pertemuan dengan Zelensky, secara terbuka mengakui bahwa mereka tidak bisa bertindak tanpa AS. Bukankah ini pernyataan yang sangat lemah dalam menghadapi Rusia? Apa yang mereka pikirkan?" kata Trump.
Pernyataan ini muncul di tengah perdebatan tentang siapa yang seharusnya menanggung beban utama dalam membantu Ukraina. Data terbaru menunjukkan bahwa per 31 Desember 2024, Eropa telah mengalokasikan bantuan sebesar 132,3 miliar euro untuk Ukraina, lebih besar dibandingkan 114,2 miliar euro yang diberikan AS. Namun, kontribusi AS tetap dominan dalam bentuk bantuan militer, termasuk sistem pertahanan udara canggih yang sangat vital bagi Ukraina untuk mempertahankan diri dari serangan Rusia.
NATO dalam Ancaman, Eropa Terpaksa Berdikari?
Ketegangan antara AS dan Ukraina juga bertepatan dengan meningkatnya perdebatan tentang masa depan NATO. Trump telah lama mengkritik aliansi ini dan bahkan mengancam untuk menarik AS dari keanggotaan jika sekutu-sekutu Eropa tidak meningkatkan pengeluaran pertahanan mereka. Jika ancaman ini menjadi kenyataan, Eropa harus menghadapi kenyataan pahit: tanpa perlindungan AS, mereka harus membangun pertahanan mereka sendiri, termasuk dalam hal persenjataan nuklir.
Mantan penasihat strategi Kementerian Pertahanan Inggris, Maximilian Terhalle, menyatakan bahwa Eropa perlu meningkatkan persenjataan nuklir mereka untuk mengimbangi Rusia. Saat ini, Rusia memiliki lebih dari 5.000 hulu ledak nuklir, sementara gabungan Prancis dan Inggris hanya memiliki sekitar 500. Kanselir Jerman terpilih, Friedrich Merz, bahkan telah mengusulkan pembentukan aliansi nuklir antara Inggris, Prancis, dan Jerman untuk menghadapi ancaman yang meningkat dari Rusia.
Di sisi lain, mantan Panglima Tertinggi NATO di Eropa, Laksamana James Stavridis, memperingatkan bahwa NATO mungkin berada di "hari-hari terakhirnya" dan bahwa negara-negara Eropa mungkin perlu membentuk perjanjian pertahanan baru jika AS benar-benar menarik diri. "Kita bisa melihat berakhirnya NATO dan awal dari apa yang mungkin disebut sebagai European Treaty Organisation (ETO)," ujar Stavridis dalam wawancaranya dengan CNN.
Zelensky di Persimpangan Jalan
Di tengah ketidakpastian ini, Zelensky terus berupaya mencari dukungan internasional. Saat berada di London, ia mencoba meredakan ketegangan dengan AS dengan menyatakan bahwa hubungan antara Ukraina dan Amerika lebih dari sekadar hubungan sesaat. "Saya pikir hubungan kita akan terus berlanjut, karena ini lebih dari sekadar hubungan sesaat," kata Zelensky.
Namun, di Washington, para pejabat AS semakin tidak sabar. Penasihat Keamanan Nasional AS, Mike Waltz, mengingatkan bahwa kesabaran rakyat Amerika tidak tak terbatas, begitu pula dengan dana dan persediaan militer mereka. "Waktunya berbicara adalah sekarang," kata Waltz dalam wawancara dengan Fox News.
Apakah tekanan Trump menandakan pergeseran besar dalam strategi Amerika terhadap perang Ukraina? Jika AS benar-benar mengurangi dukungan, apakah Eropa mampu mengisi kekosongan tersebut? Di tengah krisis yang kian berlarut-larut, masa depan Ukraina kini berada dalam ketidakpastian yang lebih besar dari sebelumnya. (*)