BRAVO13.ID, Jakarta – Indonesia mencatat deflasi tahunan sebesar 0,09 persen pada Februari 2025, menandai fenomena langka yang terakhir kali terjadi pada Maret 2000. Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa penurunan harga ini terutama dipicu oleh kebijakan diskon tarif listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan dengan daya 2.200 VA ke bawah, yang berlaku untuk pemakaian Januari dan Februari 2025.
“Terakhir kali kita mengalami deflasi tahunan itu pada Maret 2000, dengan angka mencapai 1,10 persen. Saat itu, penurunan harga didominasi oleh kelompok bahan makanan. Kali ini, pemicunya adalah tarif listrik yang masuk dalam komponen harga diatur pemerintah,” ujar Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (3/3).
Diskon listrik tersebut menyebabkan komponen harga yang diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 9,02 persen year-on-year (yoy), berkontribusi pada deflasi tahunan sebesar 1,77 persen. Meski demikian, dua komponen lainnya—yakni inflasi inti dan inflasi harga bergejolak—masih mengalami kenaikan harga secara tahunan.
Daya Beli Masyarakat Masih Stabil
Meski Indonesia mengalami deflasi, daya beli masyarakat tetap terjaga, terbukti dari komponen inflasi inti yang masih tumbuh 2,48 persen yoy. “Biasanya, daya beli dikaitkan dengan inflasi inti karena komponen ini mencerminkan harga-harga yang lebih stabil dan tidak mudah bergejolak. Kontribusinya terhadap inflasi tahunan mencapai 1,58 persen,” jelas Amalia.
Sementara itu, sejumlah komoditas pangan seperti cabai rawit, bawang putih, bawang merah, serta beberapa produk tembakau seperti sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM), masih mengalami inflasi tahunan. Hal ini membuat komponen harga bergejolak tetap tumbuh 0,56 persen yoy, meski andilnya terhadap inflasi nasional hanya 0,10 persen.
Tren Deflasi Bulanan Juga Terjadi
Selain deflasi tahunan, BPS juga mencatat deflasi bulanan sebesar 0,48 persen month-to-month (mtm), dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari 105,99 pada Januari menjadi 105,48 pada Februari. Sementara secara tahun kalender (year-to-date/ytd), deflasi tercatat sebesar 1,24 persen.
Fenomena deflasi yang jarang terjadi ini memberikan gambaran kompleks tentang kondisi ekonomi Indonesia. Di satu sisi, turunnya harga-harga tertentu dapat mengurangi tekanan terhadap biaya hidup masyarakat. Namun, jika tren ini berlanjut, dikhawatirkan dapat menjadi indikasi pelemahan permintaan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
“Yang perlu kita pantau ke depan adalah bagaimana tren harga-harga ini berkembang, terutama setelah efek diskon listrik berakhir,” tutup Amalia. (*)