BRAVO13.ID, Jakarta—Bayangkan sebuah negara yang memiliki cadangan aset senilai Rp15.978 triliun, setara dengan hampir separuh Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Uang sebesar ini, jika dikelola dengan bijak, bisa menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Namun, jika salah langkah, aset ini bisa menjadi beban yang menghantui generasi mendatang. Inilah tantangan yang dihadapi Presiden Prabowo Subianto saat meluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara atau Danantara hari ini.
“Ini adalah uang rakyat. Ini adalah uang anak-anak dan cucu-cucu kita,” ujar Prabowo dalam pidatonya di Puncak HUT ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Sabtu (15/2). Dengan nada penuh tekad, ia menegaskan pentingnya menjaga kepercayaan publik terhadap pengelolaan aset negara yang luar biasa besar ini.
Danantara bukan sekadar lembaga investasi biasa. Dengan dasar hukum dari Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) yang telah disahkan DPR pada 4 Februari 2025, badan ini bertugas untuk mengonsolidasikan pengelolaan BUMN serta mengoptimalkan dividen dan investasi. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen melalui badan ini.
Dalam forum World Government Summit di Dubai (13/2), Prabowo menjelaskan bahwa Danantara akan berfokus pada proyek-proyek strategis seperti energi terbarukan, industri hilir, manufaktur canggih, dan produksi pangan. Strategi ini diharapkan dapat mengelola sumber daya alam Indonesia secara lebih efisien dan memberikan manfaat jangka panjang bagi ekonomi nasional.
Berdasarkan Pasal 3E ayat (1) dalam UU BUMN, Danantara memiliki beberapa kewenangan utama. Badan ini bertugas mengelola dividen yang berasal dari Holding Investasi, Holding Operasional, dan BUMN. Selain itu, Danantara memiliki kewenangan untuk menyetujui penambahan atau pengurangan modal BUMN, serta melakukan restrukturisasi yang mencakup merger, akuisisi, dan pemisahan usaha. Dalam peran strategisnya, badan ini juga bertanggung jawab membentuk holding investasi dan holding operasional baru, serta menyetujui penghapusan aset BUMN. Selain itu, Danantara berkewajiban mengkonsultasikan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) kepada DPR RI untuk memastikan pengelolaan yang transparan dan akuntabel.
Sebagai langkah awal, tujuh BUMN strategis akan berada di bawah naungan Danantara, yaitu PT Pertamina, PT PLN, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Negara Indonesia (BNI), PT Bank Mandiri, PT Telkom Indonesia, dan Mining Industry Indonesia (MIND ID).
Kontroversi dan Tantangan
Meski terlihat menjanjikan, tidak sedikit pihak yang mempertanyakan mekanisme pengelolaan Danantara. Salah satu aspek yang paling disorot adalah bagaimana badan ini akan mengelola aset negara tanpa membebani keuangan negara atau justru memperbesar risiko utang.
Kepala Danantara, Muliaman Darmansyah Hadad, menjelaskan bahwa lembaga ini bertujuan untuk mengelola investasi negara di luar APBN agar lebih fleksibel. Namun, muncul kekhawatiran bahwa aset BUMN yang berada di bawah Danantara akan digadaikan sebagai jaminan utang atau bahkan dijual demi mendapatkan dana segar.
Anggota Komisi VI DPR, Darmadi Durianto, menegaskan bahwa badan ini memiliki wewenang besar dalam mengelola dividen dan membentuk holding BUMN. “Dulu dividen langsung masuk ke Kementerian Keuangan, sekarang langsung masuk ke Danantara,” ujarnya. Ini berarti, kendali atas keuangan perusahaan pelat merah semakin terkonsentrasi di satu badan, yang bisa menjadi berkah atau justru bencana jika tidak dikelola dengan transparansi dan profesionalisme.
Peluncuran Danantara menjadi momentum krusial dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Jika dikelola dengan akuntabilitas yang ketat dan tata kelola yang baik, badan ini dapat menjadi mesin penggerak pertumbuhan yang membawa kesejahteraan bagi rakyat. Namun, jika terjadi mismanajemen atau penyalahgunaan wewenang, Danantara bisa menjadi momok yang membebani keuangan negara.
Ke depan, transparansi dan efektivitas pengelolaan Danantara akan menjadi sorotan utama. Apakah ini akan menjadi terobosan besar yang mendorong Indonesia ke arah pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, atau justru memperdalam jurang ketimpangan? Jawabannya akan ditentukan oleh langkah-langkah yang diambil dalam beberapa bulan ke depan. (*)