Bravo 13
Perguruan Tinggi Jadi Penerima Manfaat Tambang, Akademisi: Ini Sogokan TerselubungPara akademisi waswas. Kampus yang seharusnya jadi benteng ilmu kini berisiko tunduk pada kepentingan industri tambang akibat UU Minerba baru.
Oleh Handoko2025-02-21 17:34:00
Perguruan Tinggi Jadi Penerima Manfaat Tambang, Akademisi: Ini Sogokan Terselubung
Aktivitas tambang batu bara di Desa Mulawarman, Tenggarong Seberang, Kalimantan Timur. Perubahan Undang-Undang Minerba yang baru disahkan DPR memicu kekhawatiran akademisi, yang menilai regulasi ini dapat membahayakan independensi perguruan tinggi dengan menjadikan kampus sebagai penerima manfaat dari industri ekstraktif. (Foto: Dok Bravo13.id)

BRAVO13.ID, Jakarta - Seberapa independen perguruan tinggi jika mereka menjadi penerima manfaat dari industri yang seharusnya mereka awasi? Perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), yang baru saja disetujui DPR pada 18 Februari lalu, memicu kekhawatiran serius. Regulasi ini membuka jalan bagi kampus untuk menerima keuntungan dari eksploitasi tambang, sebuah langkah yang dinilai sebagai bentuk sogokan terselubung demi membungkam kritik akademis terhadap industri ekstraktif.

“Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi benteng objektivitas dan pusat keilmuan kini terancam menjadi alat legitimasi industri tambang. Jika akademisi dipaksa mendukung kebijakan yang bertentangan dengan prinsip keberlanjutan, bagaimana kita bisa berharap pada riset yang independen?” ujar Sartika Nur Shalati, Policy Strategist dari CERAH.

Regulasi baru ini mengamanatkan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) secara prioritas kepada BUMN, BUMD, atau perusahaan swasta untuk kepentingan perguruan tinggi. Meskipun kampus tidak memiliki kewenangan langsung dalam mengelola tambang, pasal 51A dan 60A ayat 3 menyebutkan bahwa sebagian keuntungan dari aktivitas pertambangan akan diberikan kepada institusi pendidikan melalui perjanjian kerja sama.

Kebijakan ini muncul di tengah pemangkasan anggaran pendidikan yang berdampak pada keterbatasan dana operasional perguruan tinggi. Dengan adanya insentif dari perusahaan tambang, muncul kekhawatiran bahwa kampus akan bergantung pada sektor yang selama ini menjadi sorotan utama dalam krisis lingkungan dan perubahan iklim.

“Dukungan finansial dari industri tambang bisa jadi bumerang. Kampus bisa kehilangan keberanian untuk mengkritik atau meneliti dampak negatif pertambangan secara objektif,” tambah Sartika. “Bukankah ini mengarah pada kooptasi akademik?”

Herdiansyah Hamzah, Dosen Universitas Mulawarman sekaligus anggota Badan Pekerja Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), menilai ada dua motif utama di balik regulasi ini. Pertama, aturan ini merupakan bentuk tukar tambah politik berupa ‘sogokan’ izin konsesi tambang yang dikemas sebagai program bantuan untuk perguruan tinggi. Kedua, ia melihat kampus dipaksa menjadi stempel legitimasi industri tambang, menciptakan ilusi bahwa eksploitasi sumber daya alam adalah sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.

“Kampus pada akhirnya dijadikan mesin reproduksi pengetahuan yang membenarkan keberadaan industri tambang, meski faktanya industri ini sering kali merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat,” tegas Herdiansyah.

Sementara itu, Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, menyoroti potensi kembalinya era pemberian izin tambang secara ‘jor-joran’. Menurutnya, pemerintah dan DPR tidak belajar dari pengalaman buruk satu dekade lalu, ketika ribuan izin tambang diterbitkan tanpa pengawasan ketat, mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap kewajiban finansial seperti pajak, royalti, dan jaminan reklamasi pascatambang.

“Pemerintah seakan lupa mengapa mekanisme lelang WIUP dan WIUPK diatur dalam UU Minerba 2009. Mekanisme ini ada untuk memastikan aspek teknis, lingkungan, dan keuangan dipenuhi, guna menghindari eksploitasi yang tak terkendali,” ujar Aryanto.

Dengan perubahan regulasi ini, transisi energi ke sumber yang lebih berkelanjutan pun berisiko tersendat. Jika perguruan tinggi bergantung pada keuntungan dari sektor batu bara dan mineral, apakah riset energi terbarukan masih bisa berkembang tanpa tekanan?

“Jika kampus tunduk pada kepentingan industri ekstraktif, kita akan kehilangan salah satu pilar utama dalam perjuangan melawan krisis iklim,” tutup Sartika. “Perguruan tinggi seharusnya menjadi bagian dari solusi, bukan malah dijadikan alat oleh industri yang memperparah permasalahan.” (*)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait