BRAVO13.ID, Samarinda - Pada malam Senin, 23 September 2024, suasana di rumah mantan Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, berubah menjadi tegang saat tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan. Di balik pintu rumah yang mungkin terlihat biasa saja, tim KPK menemukan dan menyita sejumlah dokumen penting terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP). Penemuan ini mengindikasikan adanya dugaan praktik korupsi yang terjadi selama masa jabatan Awang Faroek sebagai gubernur selama dua periode, dari tahun 2008 hingga 2018.
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan kepada wartawan di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Kamis malam, bahwa dokumen-dokumen yang disita tersebut berkaitan langsung dengan pengurusan izin usaha pertambangan. "BB [barang bukti] yang didapat terkait dengan dokumen-dokumen pengurusan izin usaha pertambangan," katanya, mengisyaratkan bahwa proses hukum terhadap kasus ini semakin menguat.
Sementara itu, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini, meskipun identitas mereka masih dirahasiakan. Asep dan Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menjelaskan bahwa penyidikan masih berlangsung dan rincian mengenai tersangka belum bisa diungkap. "Proses penyidikan saat ini sedang berjalan. Untuk inisial dan jabatan tersangka belum bisa disampaikan saat ini," kata Tessa dengan nada serius.
Dari informasi yang beredar, ketiga tersangka tersebut memiliki inisial AFI, DDWT, dan ROC. Dalam upaya untuk memperlancar proses penyidikan, KPK telah mengeluarkan surat keputusan yang melarang mereka bepergian ke luar negeri selama enam bulan ke depan. "Pencegahan ini dimaksudkan untuk memudahkan tim penyidik KPK melakukan pemeriksaan," tambah Tessa.
Larangan bepergian tersebut merupakan bagian dari upaya KPK untuk mengungkap lebih jauh dugaan tindak pidana korupsi, yang dalam hal ini berhubungan dengan penerimaan hadiah atau janji dalam pengurusan IUP di wilayah Kalimantan Timur. Dengan langkah ini, KPK menunjukkan komitmennya untuk memberantas praktik korupsi dan memastikan bahwa setiap penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam dapat dipertanggungjawabkan. (*)