BRAVO13.ID, Samarinda - Pada tanggal 20 Oktober 2024, sejarah baru akan tercipta dalam perjalanan politik Indonesia ketika Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029. Momen sakral ini akan berlangsung dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Kompleks Gedung MPR/DPR RI. Namun, pelantikan kali ini tidak hanya sekadar seremoni; ia membawa perubahan signifikan dalam tata cara pelantikan yang sebelumnya tidak tertera dalam konstitusi.
Dalam rapat paripurna MPR yang berlangsung pada Rabu, 25 September 2024, Kepala Badan Pengkajian MPR, Djarot Saiful Hidayat, mengungkapkan bahwa MPR telah mengesahkan Peraturan MPR yang mengatur tata tertib pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Salah satu poin penting dalam perubahan tersebut adalah pengesahan Pasal 120 ayat 3, yang menegaskan bahwa pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih harus dilaksanakan berdasarkan ketetapan MPR. Ini merupakan langkah konsekuensi dari pelaksanaan konstitusi yang lebih mengedepankan peran MPR dalam proses pelantikan.
“Pasal 3 Ayat 2 menyatakan bahwa MPR memiliki kewenangan untuk melantik presiden dan wakil presiden, yang merupakan bunyi konstitusi kita, UUD 1945. Dengan kajian yang mendalam, kami merasa perlu agar presiden terpilih dilantik oleh MPR, bukan sekadar mengikuti keputusan KPU,” ungkap Djarot. Menurutnya, pelantikan presiden sebelumnya hanya bersifat ceremonial, di mana MPR mendengarkan keputusan KPU dan menyaksikan pengucapan sumpah presiden.
Namun, pelantikan Prabowo dan Gibran kali ini akan berbeda. Menurut Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945, khususnya Pasal 3 ayat (2), MPR memang diberikan kewenangan untuk melantik presiden dan wakil presiden. “Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden,” demikian bunyi pasal tersebut, yang merupakan hasil dari amendemen ketiga dan keempat.
Akan tetapi, ada nuansa berbeda yang muncul dari ketentuan ini. Meskipun UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa pelantikan dilakukan oleh MPR, Pasal 6A ayat (1) secara jelas menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh MPR. “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat,” sebut pasal tersebut, menegaskan prinsip demokrasi yang mendasari pemilihan umum di Indonesia.
Setelah terpilih, presiden dan wakil presiden akan mengucapkan sumpah jabatan di hadapan MPR atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UUD 1945. “Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat,” jelas Pasal 9 ayat (1).
Menarik untuk dicatat, pelantikan oleh MPR bukanlah hal yang baru dalam sejarah Indonesia. Presiden terakhir yang dilantik secara langsung oleh MPR adalah Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, pada 20 Oktober 1999. Kemudian, Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden setelah menggantikan Gus Dur melalui keputusan MPR pada 23 Juli 2001.
Dengan pelantikan Prabowo dan Gibran yang semakin dekat, banyak yang menanti bagaimana momen ini akan menjadi cerminan dari proses demokrasi dan konstitusi di Indonesia. Ini bukan hanya tentang pengucapan sumpah, tetapi juga tentang penguatan kembali peran MPR dalam tata pemerintahan, yang diharapkan dapat membawa angin segar bagi masa depan politik tanah air. (*)