BRAVO13.ID, Samarinda - Presiden Terpilih Prabowo Subianto telah memulai salah satu inisiatif paling ambisius dalam masa kepemimpinannya, Program Makan Bergizi dan Susu Gratis. Program ini bertujuan menjangkau 82,9 juta orang, termasuk anak-anak sekolah dan ibu hamil. Namun, di balik gempitanya inisiatif ini, ada satu kendala besar yang mengintai—ketersediaan susu sapi di dalam negeri yang jauh dari cukup. Fakta bahwa Indonesia hanya mampu memproduksi 22,7 persen dari kebutuhan susu nasional yang mencapai 4,3 juta ton per tahun, membuat pemerintah harus memutar otak mencari solusi.
Di tengah kegalauan tersebut, sebuah ide alternatif mencuat—susu ikan. Sebuah inovasi yang pada pandangan pertama mungkin terdengar aneh, namun bisa jadi solusi nyata di tengah krisis ketersediaan susu sapi yang sudah berlangsung lama. Saat ini, pemerintah sedang mengkaji penggunaan susu ikan sebagai opsi alternatif yang dinilai mampu mengurangi ketergantungan pada susu impor.
Menurut Agung Suganda, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, pemerintah berencana mengimpor satu juta sapi secara bertahap hingga 2029. Tujuannya adalah mencapai swasembada susu di Indonesia. Tetapi, proses ini memerlukan waktu panjang dan tidak bisa menjadi solusi instan untuk memenuhi kebutuhan susu dalam program besar-besaran ini.
“Rencananya, satu juta sapi perah itu akan kita impor secara bertahap. Pada 2029, kita harapkan Indonesia sudah bisa mencapai swasembada,” ujar Agung dalam sebuah wawancara.
Namun, ketika impor sapi membutuhkan waktu bertahun-tahun dan belum tentu bisa memenuhi kebutuhan mendesak, opsi untuk mencari alternatif lain mulai dipertimbangkan.
Sis Apik Wijayanto, Direktur Utama Holding Pangan ID FOOD, mengakui bahwa pengadaan susu dari peternakan sapi perah terintegrasi atau yang dikenal sebagai *mega farm* memerlukan waktu sekitar dua hingga tiga tahun. Dalam keadaan ini, ID FOOD pun mulai melirik opsi lain, termasuk dari dunia perikanan.
“Proses dari mega farm butuh waktu lama, jadi kami sedang mengkaji kemungkinan memaksimalkan produksi susu dari peternak lokal. Jika masih kurang, alternatif seperti produk dari ikan juga bisa dipertimbangkan,” jelas Sis Apik.
Susu ikan—sebuah konsep yang mungkin terasa asing di telinga banyak orang—adalah produk inovasi yang dihasilkan dari Hidrolisat Protein Ikan (HPI), bahan baku yang diproses menggunakan teknologi modern. Tahun lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM meluncurkan susu ikan ini dalam upaya mendorong hilirisasi produk perikanan.
Namun, apakah inovasi ini dapat diterima oleh masyarakat yang selama ini terbiasa dengan susu sapi? Ataukah susu ikan hanya akan menjadi angin lalu yang tak mampu menggantikan peran susu sapi yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat?
Inovasi susu ikan ini bukan tanpa alasan kuat. Salah satu perhatian utama Prabowo dalam program ini adalah menurunkan angka stunting di Indonesia, yang saat ini masih cukup tinggi. Stunting, atau gangguan pertumbuhan pada anak akibat kekurangan gizi dalam jangka waktu panjang, menjadi masalah serius di negara ini. Konsumsi protein hewani, termasuk dari ikan, dipercaya menjadi kunci untuk memerangi masalah ini.
Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan, sudah lama mengkampanyekan pentingnya protein hewani bagi anak-anak, terutama yang berusia di bawah dua tahun. “Protein hewani, seperti susu, telur, ikan, dan ayam, mengandung zat gizi lengkap yang mendukung pertumbuhan anak. Jika asupan protein ini kurang, anak bisa mengalami stunting,” jelas Menkes.
Dengan banyaknya manfaat ikan untuk pertumbuhan anak, susu ikan bisa menjadi jawaban yang selama ini dicari. Produk ini tidak hanya menawarkan solusi terhadap kekurangan susu sapi, tetapi juga mendukung upaya nasional dalam menekan angka stunting.
Namun, tantangan terbesar terletak pada penerimaan masyarakat dan kesiapan infrastruktur. Di satu sisi, susu ikan mungkin menawarkan solusi cepat dan efisien, tetapi di sisi lain, masih banyak pertanyaan mengenai kualitas rasa, manfaat jangka panjang, dan apakah produk ini dapat diproduksi dalam skala besar untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Kini, perjalanan susu ikan baru dimulai. Di tengah hiruk-pikuk politik dan tantangan ekonomi yang semakin kompleks, harapan akan hadirnya inovasi baru ini perlahan-lahan mengemuka. Namun, waktu yang akan menjawab, apakah susu ikan benar-benar mampu menjadi solusi yang diharapkan, atau sekadar wacana inovatif yang tenggelam dalam tumpukan kebijakan lainnya. (*)