Bravo 13
Ahli Hukum Tegaskan Mutasi ASN Wajib Patuhi Prinsip MeritokrasiDi tengah persidangan sengit, Dr. Herdiansyah Hamzah mengungkap pentingnya mutasi ASN yang harus taat hukum dan berbasis kinerja, bukan kepentingan politik.
Oleh Handoko2 weeks ago
Ahli Hukum Tegaskan Mutasi ASN Wajib Patuhi Prinsip Meritokrasi
Dr. Herdiansyah Hamzah mengungkap pentingnya mutasi ASN yang harus taat hukum dan berbasis kinerja, bukan kepentingan politik. (Instagram/herdihamzah)

BRAVO13.ID,Samarinda - Di ruang sidang Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda yang penuh perhatian, Rabu, 4 September 2024, Dr. Herdiansyah Hamzah, SH, LL.M., seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, berdiri sebagai saksi ahli dalam kasus yang mengguncang birokrasi di KalimantanTimur. Ia hadir memberikan pandangan mendalam tentang dugaan mutasi sewenang-wenang yang dilakukan oleh Penjabat (Pj) kepala daerah terhadap seorang pejabat tinggi organisasi perangkat daerah (OPD). Dalam kesaksiannya, Herdiansyah menyampaikan bahwa mutasi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) harus berlandaskan hukum yang jelas dan tidak boleh terjebak dalam kepentingan politik atau subjektivitas.

“Dalam setiap tindakan pemerintah, termasuk mutasi ASN, harus ada kepastian hukum yang tegas dan berbasis kinerja. Mutasi tidak bisa dilakukan semena-mena tanpa pertimbangan yang matang,” ujarnya, membuka kesaksian dengan nada tegas. Ia kemudian menjelaskan prinsip-prinsip hukum yang seharusnya menjadi landasan bagi setiap pejabat dalam mengambil keputusan terkait mutasi. Bukan hanya soal kepatuhan terhadap aturan tertulis, melainkan juga tentang nilai-nilai moralitas yang menjadi jiwa dari hukum itu sendiri.

Bagi Herdiansyah, manajemen ASN yang ideal harus selalu mengacu pada prinsip-prinsip meritokrasi. Artinya, setiap keputusan terkait mutasi atau rotasi jabatan harus didasarkan pada penilaian kinerja yang objektif dan profesional. “Mutasi yang dilakukan secara serampangan, apalagi jika hanya berlandaskan like and dislike, jelas melanggar prinsip-prinsip hukum yang diatur dalam Undang-Undang ASN dan peraturan lainnya,” tegasnya. Dalam konteks ini, Herdiansyah menekankan pentingnya prinsip profesionalitas, keterbukaan, akuntabilitas, serta keadilan dalam setiap proses mutasi.

Ia juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dengan jelas menyebutkan bahwa mutasi harus dilakukan minimal setelah dua tahun pegawai menduduki jabatan. Ini bukan sekadar aturan formal, tetapi, menurut Herdiansyah, merupakan kesempatan yang adil untuk menilai kinerja seorang ASN secara menyeluruh. “Mengapa dua tahun? Karena dalam jangka waktu itu, kita bisa menilai kinerja pegawai secara objektif. Jika mutasi dilakukan sebelum itu, penilaian tidak bisa dikatakan adil atau komprehensif,” jelasnya.

Lebih jauh, Herdiansyah menjelaskan bahwa aturan dua tahun ini bukan sekadar formalitas, tetapi juga berfungsi sebagai pelindung bagi pejabat ASN dari intervensi politik. “Dalam realitasnya, ASN sangat rentan terhadap tekanan politik, terutama dari pimpinan daerah yang memiliki kepentingan. Dengan aturan ini, kita mencoba menjaga agar mutasi tidak menjadi alat politik, melainkan murni berdasarkan evaluasi kinerja,” tambahnya.

Surat Edaran yang Membuka Ruang Kontroversi

Namun, meski ada aturan jelas soal masa minimal dua tahun tersebut, muncul pengecualian yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 19 Tahun 2023. Surat edaran ini memungkinkan mutasi dilakukan sebelum dua tahun, dengan syarat-syarat tertentu, seperti pelanggaran disiplin atau ketidakmampuan dalam melaksanakan tugas. Herdiansyah mengakui bahwa aturan ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, mutasi bisa dilakukan lebih awal dengan pertimbangan khusus, namun di sisi lain, surat edaran ini kerap disalahgunakan oleh oknum pejabat untuk kepentingan yang bersifat subjektif.

“SE Menpan RB ini memang membuka ruang interpretasi yang cukup luas, sehingga rawan disalahgunakan. Mutasi sebelum dua tahun bisa saja dilakukan, tetapi hanya jika benar-benar ada dasar yang kuat, misalnya penilaian kinerja yang buruk atau pelanggaran disiplin yang serius. Namun dalam praktiknya, seringkali alasan-alasan ini digunakan secara tidak proporsional untuk memuaskan kepentingan tertentu,” jelasnya.

Herdiansyah juga menyoroti bahwa surat edaran ini seharusnya dipandang secara hati-hati. Jika mutasi dilakukan dengan alasan yang tidak berdasar, maka itu bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang, yang berlawanan dengan prinsip meritokrasi yang dijunjung dalam sistem kepegawaian Indonesia.

Meritokrasi: Menjaga Profesionalitas ASN

Dalam kesaksiannya, Herdiansyah berulang kali menekankan pentingnya meritokrasi sebagai landasan dalam manajemen ASN. Sistem meritokrasi, katanya, adalah sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menduduki posisi berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan karena kedekatan politik atau kepentingan pribadi.

“Sistem merit ini menjadi sangat penting untuk menjaga profesionalitas ASN. Pejabat tidak boleh sembarangan melakukan mutasi tanpa alasan yang jelas dan objektif. Semua harus didasarkan pada penilaian kinerja, bukan faktor subjektif seperti kedekatan atau afiliasi politik,” tegasnya. Herdiansyah juga mengutip peraturan dalam UU ASN yang menegaskan bahwa penilaian kinerja harus menjadi tolok ukur utama dalam setiap keputusan terkait mutasi, promosi, atau pengangkatan ASN.

Di akhir keterangannya, Herdiansyah memperingatkan bahwa penyalahgunaan wewenang dalam mutasi ASN bukan hanya melanggar aturan hukum, tetapi juga merusak integritas sistem kepegawaian secara keseluruhan. “Ketika mutasi dilakukan tanpa dasar yang jelas, maka merit system yang sudah dibangun dengan susah payah akan runtuh. Ini tidak hanya merugikan individu yang terkena mutasi, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap birokrasi kita,” tutupnya.

Kesaksian Herdiansyah dalam persidangan ini memperkuat argumen bahwa dalam kasus ini, dugaan adanya mutasi yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh Pj kepala daerah bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap tata kelola pemerintahan yang baik. Keputusan mutasi yang tidak berdasarkan kinerja jelas merusak esensi dari profesionalitas ASN, dan kasus ini menjadi sorotan bagi bagaimana mutasi pegawai seharusnya berjalan di bawah prinsip-prinsip hukum yang kuat dan tidak terdistorsi oleh kepentingan politik.

Perkara ini, dengan segala kompleksitasnya, bukan hanya menyangkut persoalan mutasi semata, tetapi juga menyangkut bagaimana keadilan dan prinsip hukum ditegakkan dalam sistem kepegawaian di Indonesia. (*)

Dapatkan informasi dan insight pilihan bravo13.id

Berita Terkait