BRAVO13.ID, Samarinda - Matahari siang memancar kuat di atas Kantor DPP PDI-P di Jakarta, memantulkan kilau dari gedung megah yang menjadi saksi bisu perjalanan politik negeri ini. Di dalam ruangan yang penuh sesak dengan para tokoh partai dan awak media, suasana terasa tegang namun penuh harap. Pada hari Senin itu, 26 Agustus 2024, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P, berdiri di depan podium, siap mengumumkan nama-nama calon kepala daerah yang akan diusung partainya pada pemilihan mendatang.
Sorot mata para hadirin tertuju pada sosok yang sejak awal acara tampak tenang, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang akrab disapa Ahok. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu kini menjabat sebagai Ketua DPP PDI-P, sebuah posisi yang membawanya kembali ke panggung politik setelah beberapa tahun silam sempat tersisih. Namun, ketenangan Ahok hari itu tampaknya terusik oleh satu momen yang terjadi di tengah pidato Megawati.
Dengan gaya khasnya yang lugas namun penuh kharisma, Megawati mulai menyampaikan pesannya. Ia mengangkat isu penting tentang perubahan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia. “Rakyat sekarang tidak bodoh, sudah pintar,” ujar Megawati, dengan nada yang lebih tegas dari biasanya. Kalimat ini seakan menjadi pengingat bagi semua yang hadir bahwa era politik lama, di mana rakyat hanya menjadi penonton, kini telah bergeser. Masyarakat kini lebih kritis, lebih cerdas, dan lebih siap mengadili setiap langkah dan ucapan pemimpin mereka.
Namun, perhatian ruangan seketika berpindah ketika Megawati, dengan nada bercanda, menyindir Ahok yang duduk tak jauh darinya. “Dulu saya pernah bilang ke Ahok, sampai tadi saya bilang, 'Pak Ahok selotip tetap berjalan toh?' habis kesenangannya nyerocos saja gitu lho," katanya, sambil melirik ke arah Ahok. Tawa kecil pecah di antara para hadirin, namun Ahok hanya tersenyum tipis. Dalam senyum itu, ada pengakuan, ada kepatuhan pada sosok yang ia hormati sebagai pemimpin partainya.
Di balik candaan itu, terselip pesan yang jauh lebih serius. Megawati dengan jelas meminta Ahok untuk tidak memberikan komentar apapun kepada media usai acara tersebut. “Di luar banyak media, jangan mau diwawancara ya. Jadi nanti enggak usah (wawancara), karena perintah ketum enggak boleh,” ucap Megawati dengan nada tegas, seakan menegaskan bahwa di balik humor ada perintah yang harus ditaati. Ahok mengangguk pelan, menyiratkan bahwa ia memahami sepenuhnya instruksi tersebut. Baginya, instruksi itu lebih dari sekadar perintah; itu adalah tanda hormat kepada sosok yang telah membawanya kembali ke panggung politik.
Seiring berjalannya pidato, Megawati berbicara tentang kondisi hukum di Indonesia. Nada suaranya berubah, mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. “Alhamdulillah akhirnya MK hakim-hakimnya ternyata masih punya nurani dan keberanian. Saya enggak bisa bayangkan lho, kalau hukum di ini kan, dimainkan, padahal kan ada hierarki-nya gitu,” ucapnya, menyoroti betapa rentannya sistem hukum di negeri ini. Dalam kalimat itu, tersirat kekhawatiran akan masa depan keadilan di Indonesia, sebuah topik yang terus menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.
Ketika acara berakhir, Ahok memilih untuk diam. Ia berjalan meninggalkan tempat tanpa memberikan komentar apapun kepada awak media yang sudah menantinya di luar. Bagi sebagian orang, diamnya Ahok adalah bentuk kepatuhan pada instruksi Megawati, namun bagi yang lain, mungkin itu adalah bentuk kesadaran bahwa dalam politik, ada saatnya untuk berbicara dan ada saatnya untuk diam. Dan kali ini, Ahok memilih untuk diam, menyampaikan pesan tanpa kata-kata, bahwa ia masih setia pada jalur yang ditetapkan oleh partainya, oleh Megawati.
Dalam keheningan yang menyelimuti langkah Ahok saat meninggalkan ruangan, publik bisa merasakan bahwa politik bukan hanya tentang apa yang diucapkan, tetapi juga tentang apa yang tidak diucapkan. Dan dalam diamnya Ahok, tersimpan makna yang dalam, bahwa ia, seorang politisi yang dikenal vokal, kini memahami seni keheningan di dunia politik yang penuh dinamika ini. (*)