BRAVO13.ID, Samarinda - Pada Sabtu malam yang tenang di Bourget, sebuah bandara kecil yang terletak di luar Paris, suasana mendadak berubah tegang. Pavel Durov, seorang miliarder muda kelahiran Rusia yang dikenal sebagai pendiri aplikasi pesan instan Telegram, ditangkap saat ia turun dari jet pribadinya. Kejadian ini mengejutkan banyak pihak, terutama karena Durov selama ini dikenal sebagai figur yang berpengaruh di dunia teknologi dan media sosial.
Pavel Durov, yang telah meninggalkan Rusia sejak 2014, tiba di Prancis setelah melakukan perjalanan dari Azerbaijan. Namun, begitu kakinya menginjak tanah Prancis, polisi segera bergerak cepat. Berdasarkan informasi dari sumber yang tidak disebutkan namanya, penangkapan ini terkait dengan penyelidikan awal polisi Prancis yang menyasar kurangnya moderasi di Telegram—platform yang telah menjadi alat komunikasi penting di tengah berbagai konflik global.
Telegram, yang dibangun dengan visi menjadi platform netral tanpa campur tangan politik, kini berada di tengah sorotan tajam. Aplikasi ini telah menjadi ruang di mana berbagai pandangan, baik yang mendukung maupun yang menentang pemerintah, dapat berkembang bebas. Di Rusia dan Ukraina, Telegram menjadi sumber utama informasi—baik yang akurat maupun yang dipenuhi propaganda. Tak jarang, konten yang tersebar di platform ini vulgar, menyesatkan, atau bahkan berbahaya.
Menurut laporan dari media Prancis TF1 dan BFM TV, yang pertama kali mengungkap penangkapan ini, investigasi terkait Telegram berfokus pada ketiadaan sistem moderasi yang efektif. Polisi Prancis menduga bahwa situasi ini memungkinkan aktivitas kriminal berlanjut tanpa hambatan di dalam aplikasi tersebut.
Durov sendiri telah lama dikenal sebagai sosok yang kontroversial. Pada tahun 2014, ia meninggalkan Rusia setelah menolak tuntutan pemerintah untuk menutup komunitas oposisi di VK, platform media sosial miliknya yang saat itu sangat populer di Rusia. Sejak saat itu, ia mendirikan Telegram di Dubai dan terus mengembangkannya hingga mencapai 900 juta pengguna aktif. Ambisi Durov tak berhenti di situ—ia menargetkan satu miliar pengguna pada tahun depan.
Namun, kejadian ini memunculkan pertanyaan serius tentang masa depan Telegram dan peran Durov di dalamnya. Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, Durov berkali-kali menegaskan bahwa Telegram harus tetap menjadi platform netral. Namun, pernyataannya ini tampaknya tidak cukup untuk meredakan kekhawatiran beberapa pemerintah, termasuk Prancis.
Menanggapi penangkapan Durov, Kedutaan Besar Rusia di Prancis menyatakan bahwa mereka belum dihubungi oleh pihak Durov, namun mereka segera mengambil langkah untuk mengklarifikasi situasi ini. Di sisi lain, beberapa politisi Rusia, termasuk perwakilan Rusia untuk organisasi internasional di Wina, Mikhail Ulyanov, dengan cepat mengecam tindakan Prancis. Mereka menuduh Prancis bertindak seperti kediktatoran dan memperingatkan bahwa figur publik yang memainkan peran penting di ruang informasi internasional mungkin tidak aman untuk mengunjungi negara-negara Barat.
Kabar penangkapan Durov ini dengan cepat menyebar, memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Beberapa blogger Rusia bahkan menyerukan protes di depan kedutaan besar Prancis di seluruh dunia pada hari Minggu siang, menunjukkan betapa kontroversialnya peristiwa ini. Telegram, yang selama ini menjadi salah satu sedikit tempat di mana warga Rusia bisa mengakses informasi bebas tentang perang di Ukraina, kini berada di bawah ancaman baru.
Kejadian ini mengingatkan kita pada dunia yang semakin kompleks, di mana batas antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial semakin kabur. Telegram, sebagai platform yang sering dianggap sebagai oasis kebebasan di tengah dunia digital yang penuh sensor, kini menghadapi tantangan terbesar dalam sejarahnya. Dan Pavel Durov, sang pendiri, harus menghadapi kenyataan bahwa visinya tentang platform netral mungkin tidak cukup untuk melindunginya dari badai politik global yang semakin ganas. (*)