BRAVO13.ID, Samarinda - Di tengah teriknya pagi Jakarta pada Kamis, 22 Agustus 2024, ada yang berbeda di sepanjang jalan menuju Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Senayan. Ribuan mahasiswa berbondong-bondong bergerak, bendera-bendera universitas berkibar di atas kepala mereka, sementara spanduk-spanduk besar menampilkan pesan yang jelas: “Kawal Putusan MK, Tegakkan Keadilan!”
Gerakan ini bukanlah sekadar demonstrasi biasa. Ini adalah manifestasi dari kekecewaan dan kemarahan yang telah lama dipendam, terutama oleh para mahasiswa yang merasa bahwa demokrasi di Indonesia sedang diancam oleh kepentingan segelintir elite politik. Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan telah menyerukan aksi ini jauh sebelum pagi itu tiba. Seruan tersebut bergema di lebih dari 350 kampus di 14 wilayah, memobilisasi mahasiswa untuk turun ke jalan dalam jumlah yang belum pernah terlihat sejak era reformasi.
Koordinator Pusat BEM SI Kerakyatan, Satria Naufal, menjadi wajah dari perlawanan ini. Dalam sebuah pesan video yang disebarkan kepada media pada malam sebelum aksi, Naufal berbicara dengan nada yang tegas dan penuh semangat. "Kami bukan hanya berbicara untuk diri kami sendiri, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang merasa dikhianati oleh mereka yang seharusnya melindungi dan memperjuangkan kepentingan rakyat," ujarnya. Wajahnya yang muda namun bertekad kuat, mencerminkan semangat yang diusung oleh ribuan mahasiswa yang mengikuti jejaknya.
Naufal tidak berbicara tanpa alasan. Akar dari kemarahan mahasiswa ini adalah keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang baru saja menolak untuk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait revisi Undang-Undang Pilkada. Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 dan Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang seharusnya menjadi tonggak baru dalam penyelenggaraan pilkada yang lebih adil, justru diabaikan oleh DPR. Ini bukan hanya tentang aturan teknis, tetapi tentang prinsip dasar demokrasi yang diabaikan.
Di dalam putusan MK tersebut, ada dua hal krusial: pertama, syarat usia minimum calon kepala daerah yang seharusnya dihitung saat penetapan pasangan calon, bukan saat pelantikan, dan kedua, pelonggaran ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah yang seharusnya berlaku untuk semua partai politik, bukan hanya untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Namun, Baleg DPR memilih untuk mengabaikan putusan tersebut, mempertahankan ambang batas yang ketat dan memungkinkan syarat usia yang lebih rendah, sebuah keputusan yang dianggap sebagai cara untuk memuluskan langkah Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, untuk maju dalam Pilkada 2024.
Di tengah kontroversi ini, media sosial dipenuhi dengan tagar seperti #KawalPutusanMK dan #PeringatanDarurat. Gambar Garuda Pancasila dengan latar biru, simbol perlawanan rakyat, menjadi viral. Publik merespon dengan kekhawatiran bahwa keputusan ini bukan hanya tentang satu orang, tetapi tentang masa depan demokrasi Indonesia.
Malam sebelum aksi, Gedung DPR di Senayan sudah disambangi oleh perwakilan BEM SI yang menyampaikan pernyataan sikap mereka. "Ini bukan hanya soal mahasiswa, ini soal masa depan negara," kata Naufal saat memberikan orasi di depan gerbang DPR. "Atas nama rakyat, kami bergerak. Kami tidak akan diam saat demokrasi diinjak-injak."
Aksi pagi itu menjadi lebih dari sekadar unjuk rasa. Di jalan-jalan Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan berbagai kota besar lainnya, mahasiswa dan masyarakat umum berdiri bersama. Ini bukan hanya soal mahasiswa yang marah, tetapi juga tentang warga yang merasa suara mereka tidak didengar. Di Yogyakarta, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus berkumpul di sekitar Tugu Pal Putih, simbol perlawanan rakyat yang tak lekang oleh waktu. Di Bandung, jalanan di sekitar Gedung Sate dipenuhi massa yang menuntut keadilan.
Apa yang membuat aksi ini begitu signifikan adalah konvergensi berbagai elemen masyarakat yang bersatu dalam satu tujuan: menjaga agar demokrasi tetap berjalan di rel yang benar. Bahkan, pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril, ikut angkat suara, memperingatkan bahwa keputusan DPR ini bisa membawa konsekuensi hukum yang serius. "Putusan MK adalah final dan mengikat," tegas Oce. "Jika DPR tidak mengikuti putusan tersebut, maka revisi UU Pilkada yang mereka sahkan bisa diuji kembali di MK dan dibatalkan."
Bagi mahasiswa yang turun ke jalan, aksi ini bukan hanya sekadar protes, tetapi sebuah pernyataan bahwa mereka tidak akan tinggal diam melihat demokrasi terancam. Mereka mengingatkan kita pada sejarah panjang pergerakan mahasiswa di Indonesia, yang selalu menjadi garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai demokrasi.
Pada hari itu, mereka menunjukkan bahwa semangat reformasi masih hidup dan berdenyut kencang di dada setiap mahasiswa yang berani melangkah keluar dari zona nyaman mereka, meninggalkan ruang kuliah untuk berhadapan langsung dengan aparat di jalanan. Mereka sadar bahwa ini adalah pertempuran untuk masa depan yang akan terus bergulir, dan mereka bertekad untuk tidak mundur.
Dari Jakarta hingga Yogyakarta, dari Bandung hingga kota-kota lainnya, gema perlawanan ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap keputusan politik, ada nyawa dan masa depan rakyat yang dipertaruhkan. Dan mahasiswa, dengan segala semangat dan idealisme mereka, akan selalu berada di garis depan untuk memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan terjaga. (*)