BRAVO13.ID, Tenggarong - Di tengah hiruk-pikuk persimpangan Jalan Monumen Timur dan Jalan Mayjen Sutoyo, Tenggarong, Kutai Kartanegara, berdiri gagah sebuah monumen sejarah dan keagamaan, Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin. Masjid yang dulunya dikenal sebagai Masjid Sultan ini bukan hanya sebuah struktur fisik, melainkan sebuah narasi hidup yang menceritakan perjalanan syiar Islam di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Kisah masjid ini dimulai dari reruntuhan akibat peperangan dengan Inggris, yang kemudian dibangun kembali oleh Sultan Adji Muhammad Sulaiman di lokasi yang masih berdiri kokoh hingga hari ini. Masjid ini, yang terletak dalam satu kompleks dengan Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, telah menjadi saksi bisu penyebaran Islam di nusantara bagian timur.
Edy Sofyansyah, Sekretaris Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin, membuka lembaran sejarah kepada media ini, mengungkapkan bahwa masjid ini dibangun dalam dua periode penting. Pada periode pertama, masjid ini hancur dalam peperangan dan dibangun kembali oleh Sultan Adji Muhammad Sulaiman, yang kemudian dilanjutkan oleh Sultan Alimuddin bergelar Sultan Muda.
Pada tahun 1874 Masehi, masjid ini dibangun sejak zaman Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-17 dari 19 raja. Awalnya hanya sebuah musala, masjid ini telah berkembang menjadi bangunan masjid yang besar dan megah, hampir berusia 150 tahun.
Edy menjelaskan, "Sebenarnya bukan masjid Sultan, tapi memang yang bangun dulunya Sultan Adji Muhammad Sulaiman." Bangunan masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi dan pemugaran, termasuk pada tahun 1923 di bawah pemerintahan Sultan Adji Muhammad Parikesit dan pada tahun 1929 oleh Adji Amir Hassanuddin bersama Tuan Guru Sayid Saggaf Baraqbah.
Menariknya, kayu-kayu yang digunakan dalam masjid ini memiliki cerita tersendiri. Kayu ulin yang besar, yang semula hendak digunakan untuk proses ritual adat, akhirnya menjadi tiang penyangga masjid setelah tragedi duka cita yang menimpa putra mahkota Aji Penggeuk.
Masjid ini dibangun dengan gotong royong, tanpa paksaan atau upah, mencerminkan antusiasme dan devosi masyarakat yang ingin memiliki rumah ibadah representatif. Pada tahun 1962, nama masjid ini diubah menjadi Masjid Jami’ Adji Amir Hasanuddin sebagai penghormatan kepada tokoh pendiri yang tidak dapat dilupakan sejarahnya, Adji Amir Hasanuddin dan Tuan Guru Sayid Sagat Baraqbah.
Kantor Perwakilan Kementerian Agama Kalimantan Timur pun menetapkan nama Adji Amir Hasanuddin untuk masjid ini sebagai penghargaan atas perjuangannya dalam syiar Islam. Kini, masjid ini tidak hanya menjadi sentra kegiatan ibadah dan keagamaan warga setempat, tetapi juga telah ditetapkan sebagai masjid bersejarah di Indonesia dan Cagar Budaya Nasional oleh pemerintah.
Edy menutup, "Sekarang masjid ini sudah ditetapkan menjadi masjid bersejarah di Indonesia. Meski berkali-kali direhab, tidak satu pun paku yang digunakan untuk membangun masjid. Melainkan pasak kayu itu sendiri yang menjadi penguat setiap struktur bangunannya."
Dengan mempertahankan keaslian arsitektur serta bentuk bangunannya, Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin berdiri sebagai simbol kekuatan, ketahanan, dan keabadian nilai-nilai yang diwakilinya. (adv)